A. Pengertian
Psikodinamika
Teori psikodinamika adalah teori
yang berusaha menjelaskan hakikat dan perkembangan kepribadian. Unsur-unsur
yang diutamakan dalam teori ini adalah motivasi, emosi dan aspek-aspek internal
lainnya. Teori ini mengasumsikan bahwa kepribadian berkembang ketika terjadi
konflik-konflik dari aspek-aspek psikologis tersebut, yang pada umumnya terjadi
pada anak-anak dini.
Pemahanan freud tentang kepribadian
manusia didasarkan pada pengalaman-pengalaman dengan pasiennya, analisis
tentang mimpinya, dan bacaannya yang luas tentang beragam literature ilmu
pengetahuan dan kemanusiaan. Pengalaman-pengalaman ini menyediakan data yang
mendasar bagi evolusi teorinya. Baginya, teori mengikuti megikuti observasi,
dan konsepnya tentang kepribadian terus mengalami revisi selama 50 tahun
terakhir hidupnya.
Teori psikodinamika atau tradisi
klinis berangkat dari dua asumsi dasar. Pertama, manusia adalah bagian dari
dunia binatang. Kedua, manusia adalah bagian dari sistem energi. Kunci utama
untuk memahami manusia menurut paradigma psikodinamika adalah mengenali semua
sumber terjadinya perilaku, baik itu berupa dorongan yang disadari maupun yang
tidak disadari.
Teori psikodinamika ditemukan oleh
Sigmund Freud (1856-1939). Dia memberi nama aliran psikologi yang dia
kembangkan sebagai psikoanalisis. Banyak pakar yang kemudian ikut memakai
paradigma psikoanalisis untuk mengembangkan teori kepribadiannya, seperti :
Carl Gustav Jung, Alfred Adler, serta tokoh-tokoh lain seperti Anna Freud,
Karen Horney, Eric Fromm, dan Harry Stack Sullivan. Teori psikodinamika
berkembang cepat dan luas karena masyarakat luas terbiasa memandang gangguan
tingkah laku sebagai penyakit (Alwisol, 2005 : 3-4).
B. Teori Psikoseksual Freud
Psikodinamika mencerminkan
dinamika-dinamika psikis yang menghasilkan gangguan jiwa atau penyakit jiwa.
Dinamika psikis terjadi melalui sinergi dan interaksi-interaksi elemen psikis
setiap individu. Seksualitas Freud sebagai sebuah dinamika, menangkap ada
bermacam-macam potensi psikopatologi dalam setiap peta id, ego, dan superego. Ketiga
elemen psikis ini mempunyai kekhasan masing-masing, sebab mereka menggambarkan
tiap-tiap ide yang saling paradoks. Hanya saja, mereka tidak akan membuat
manusia sepenuhnya nyaman, karena manusia tetap saja orang yang sakit. Sebagaimana
tubuh fisik yang mempunyai struktur: kepala, kaki, lengan dan batang tubuh,
Sigmund Frued, berkeyakinan bahwa jiwa manusia juga mempunyai struktur, meski
tentu tidak terdiri dari bagian-bagian dalam ruang. Struktur jiwa tersebut
meliputi tiga instansi atau sistem yang berbeda. Masing-masing sistem tersebut
memiliki peran dan fungsi sendiri-sendiri. Keharmonisan dan keselarasan kerja
sama di antara ketiganya sangat menentukan kesehatan jiwa seseorang. Ketiga
sistem ini meliputi: Id, Ego, dan Superego. Sebagaimana akan dijelaskan sebagai
berikut:
1. Id
Sigmund
Frued mengumpamakan kehidupan psikis seseorang bak gunung es yang
terapung-apung di laut. Hanya puncaknya saja yang tampak di permukaan laut,
sedangkan bagian terbesar dari gunung tersebut tidak tampak, karena terendam di
dalam laut. Kehidupan psikis seseorang sebagian besar juga tidak tampak ( bagi
diri mereka sendiri ), dalam arti tidak disadari oleh yang bersangkutan. Meski
demikian, hal ini tetap perlu mendapat perhatian atau diperhitungkan, karena
mempunyai pengaruh terhadap keutuhan pribadi ( integrated personality )
seseorang. Dalam pandangan Frued, apa yang dilakukan manusia khususnya yang
diinginkan, dicita-citakan, dikehendaki- untuk sebagian besar tidak disadari
oleh yang bersangkutan. Hal ini dinamakan “ketaksadaran dinamis”, ketaksadaran
yang mengerjakan sesuatu. Dengan pandangan seperti itu, Frued telah melakukan
sebuah revolusi terhadap pandangan tentang manusia. Karena, psikologi
sebelumnya hanya menyelidiki hal-hal yang disadari saja. Segala perilaku yang
di luar kesadaran manusia dianggap bukan wilayah kajian psikologi.
Frued menggunakan istilah Id untuk menunjukkan wilayah ketaksadaran tersebut. Id merupakan lapisan paling dasar dalam struktur psikis seorang manusia. Id meliputi segala sesuatu yang bersifat impersonal atau anonim, tidak disengaja atau tidak disadari, dalam daya-daya mendasar yang menguasai kehidupan psikis manusia. Oleh karena itu, Frued memilih istilah “id” ( atau bahsa aslinya “Es” ) yang merupakan kata ganti orang neutrum atau netral.
Pada permulaan hidup manusia, kehidupan psikisnya hanyalah terdiri dari Id saja. Pada janin dalam kandungan dan bayi yang baru lahir, hidup psikisnya seratus persen sama identik dengan Id. Id tersebut nyaris tanpa struktur apa pun dan secara menyeluruh dalam keadaan kacau balau. Namun demikian, Id itulah yang menjadi bahan baku bagi perkembangan psikis lebih lanjut. Id adalah bagian kepribadian yang menyimpan dorongan biologis manusia – pusat insting (hawa nafsu, istilah dalam agama ). Ada dua insting dominan, yakni : ( 1 ) Libido – instink reproduktif yang menyediakan energi dasar untuk kegiatan-kegiatan manusia yang konstruktif; ( 2 ) Thanatos – instink destruktif dan agresif. Yang pertama disebut juga instink kehidupan ( eros ), yang dalam konsep Frued bukan hanya meliputi dorongan seksual, tetapi juga segala hal yang mendatangkan kenikmatan termasuk kasih ibu, pemujaan kepada Tuhan, cinta diri ( narcisisme ). Bila yang pertama adalah instink kehidupan, yang kedua merupakan instink kematian. Semua motif manusia adalah gabungan antara eros dan thanatos. Id bergerak berdasarkan kesenangan ( pleasure principle ), ingin segera memenuhi kebutuhannya. Id bersifat egoistis, tidak bermoral dan tidak mau tahu dengan kenyataan. Id adalah tabiat hewani manusia. ( Jalaluddin Rakhmat M.sc, Psikologi Komunikasi, 1986 ). Pada mulanya, Id sama sekali berada di luar kontrol individu. Id hanya melakukan apa yang disukai. Ia dikendalikan oleh “prinsip kesenangan” ( the pleasure principle ). Pada Id tidak dikenal urutan waktu ( timeless ). Hukum-hukum logika dan etika sosial tidak berlaku untuknya. Dalam mimpi seringkali kita melihat hal-hal yang sama sekali tidak logis. Atau pada anak kecil, kita bisa melihat bahwa perilaku mereka sangat dikuasai berbagai keinginan. Untuk memuaskan keinginan tersebut, mereka tak mau ambil pusing tentang masuk akal-tidaknya keinginan tersebut. Selain itu, juga tidak peduli apakah pemenuhan keinginan itu akan berbenturan dengan norma-norma yang berlaku. Yang penting baginya adalah keinginannya terpenuhi dan ia memperoleh kepuasan. Demikianlah gambaran selintas tentang Id. Bagaimana pun keadaannya Id tetap menjadi bahan baku kehidupan psikis seseorang. Id merupakan reservoar energi psikis yang menggerakkan Ego dan Superego. Energi psikis dalam Id dapat meningkat karena adanya rangsangan, baik dari dalam maupun dari luar individu. Apabila energi psikis ini meningkat, akan menimbulkan pengalaman tidak enak (tidak menyenangkan). Id tidak bisa membiarkan perasaan ini berlangsung lama. Karena itu, segeralah id mereduksikan energi tersebut untuk menghilangkan rasa tidak enak yang dialaminya. Jadi, yang menjadi pedoman dalam berfungsinya Id adalah menghindarkan diri dari ketidakenakan dan mengejar keenakan. Untuk menghilangkan ketidakenakan dan mencapai keenakan ini, id mempunyai dua cara, yang pertama adalah: refleks dan reaksi-reaksi otomatis, seperti misalnya bersin, berkedip karena sinar, dan sebagainya, dan yang ke dua adalah proses primer, seperti misalnya ketika orang lapar biasanya segera terbayang akan makanan; orang yang haus terbayang berbagai minuman. Bayangan-bayangan seperti itu adalah upaya-upaya yang dilakukan id untuk mereduksi ketegangan akibat meningkatnya energi psikis dalam dirinya. Cara-cara tersebut sudah tentu tidak dapat memenuhi kebutuhan. Orang lapar tentu tidak akan menjadi kenyang dengan membayangkan makanan. Orang haus tidak hilang hausnya dengan membayangkan es campur. Karena itu maka perlu (merupakan keharusan kodrat) adanya sistem lain yang menghubungkan pribadi dengan dunia objektif. Sistem yang demikian itu ialah Ego.
Frued menggunakan istilah Id untuk menunjukkan wilayah ketaksadaran tersebut. Id merupakan lapisan paling dasar dalam struktur psikis seorang manusia. Id meliputi segala sesuatu yang bersifat impersonal atau anonim, tidak disengaja atau tidak disadari, dalam daya-daya mendasar yang menguasai kehidupan psikis manusia. Oleh karena itu, Frued memilih istilah “id” ( atau bahsa aslinya “Es” ) yang merupakan kata ganti orang neutrum atau netral.
Pada permulaan hidup manusia, kehidupan psikisnya hanyalah terdiri dari Id saja. Pada janin dalam kandungan dan bayi yang baru lahir, hidup psikisnya seratus persen sama identik dengan Id. Id tersebut nyaris tanpa struktur apa pun dan secara menyeluruh dalam keadaan kacau balau. Namun demikian, Id itulah yang menjadi bahan baku bagi perkembangan psikis lebih lanjut. Id adalah bagian kepribadian yang menyimpan dorongan biologis manusia – pusat insting (hawa nafsu, istilah dalam agama ). Ada dua insting dominan, yakni : ( 1 ) Libido – instink reproduktif yang menyediakan energi dasar untuk kegiatan-kegiatan manusia yang konstruktif; ( 2 ) Thanatos – instink destruktif dan agresif. Yang pertama disebut juga instink kehidupan ( eros ), yang dalam konsep Frued bukan hanya meliputi dorongan seksual, tetapi juga segala hal yang mendatangkan kenikmatan termasuk kasih ibu, pemujaan kepada Tuhan, cinta diri ( narcisisme ). Bila yang pertama adalah instink kehidupan, yang kedua merupakan instink kematian. Semua motif manusia adalah gabungan antara eros dan thanatos. Id bergerak berdasarkan kesenangan ( pleasure principle ), ingin segera memenuhi kebutuhannya. Id bersifat egoistis, tidak bermoral dan tidak mau tahu dengan kenyataan. Id adalah tabiat hewani manusia. ( Jalaluddin Rakhmat M.sc, Psikologi Komunikasi, 1986 ). Pada mulanya, Id sama sekali berada di luar kontrol individu. Id hanya melakukan apa yang disukai. Ia dikendalikan oleh “prinsip kesenangan” ( the pleasure principle ). Pada Id tidak dikenal urutan waktu ( timeless ). Hukum-hukum logika dan etika sosial tidak berlaku untuknya. Dalam mimpi seringkali kita melihat hal-hal yang sama sekali tidak logis. Atau pada anak kecil, kita bisa melihat bahwa perilaku mereka sangat dikuasai berbagai keinginan. Untuk memuaskan keinginan tersebut, mereka tak mau ambil pusing tentang masuk akal-tidaknya keinginan tersebut. Selain itu, juga tidak peduli apakah pemenuhan keinginan itu akan berbenturan dengan norma-norma yang berlaku. Yang penting baginya adalah keinginannya terpenuhi dan ia memperoleh kepuasan. Demikianlah gambaran selintas tentang Id. Bagaimana pun keadaannya Id tetap menjadi bahan baku kehidupan psikis seseorang. Id merupakan reservoar energi psikis yang menggerakkan Ego dan Superego. Energi psikis dalam Id dapat meningkat karena adanya rangsangan, baik dari dalam maupun dari luar individu. Apabila energi psikis ini meningkat, akan menimbulkan pengalaman tidak enak (tidak menyenangkan). Id tidak bisa membiarkan perasaan ini berlangsung lama. Karena itu, segeralah id mereduksikan energi tersebut untuk menghilangkan rasa tidak enak yang dialaminya. Jadi, yang menjadi pedoman dalam berfungsinya Id adalah menghindarkan diri dari ketidakenakan dan mengejar keenakan. Untuk menghilangkan ketidakenakan dan mencapai keenakan ini, id mempunyai dua cara, yang pertama adalah: refleks dan reaksi-reaksi otomatis, seperti misalnya bersin, berkedip karena sinar, dan sebagainya, dan yang ke dua adalah proses primer, seperti misalnya ketika orang lapar biasanya segera terbayang akan makanan; orang yang haus terbayang berbagai minuman. Bayangan-bayangan seperti itu adalah upaya-upaya yang dilakukan id untuk mereduksi ketegangan akibat meningkatnya energi psikis dalam dirinya. Cara-cara tersebut sudah tentu tidak dapat memenuhi kebutuhan. Orang lapar tentu tidak akan menjadi kenyang dengan membayangkan makanan. Orang haus tidak hilang hausnya dengan membayangkan es campur. Karena itu maka perlu (merupakan keharusan kodrat) adanya sistem lain yang menghubungkan pribadi dengan dunia objektif. Sistem yang demikian itu ialah Ego.
2. Ego
Meski id mampu melahirkan keinginan, namun ia tidak mampu memuaskannya. Subsistem yang kedua, ego berfungsi menjembatani tuntutan id dengan realitas di dunia luar. Ego merupakan mediator antara hasrat-hasrat hewani dengan tuntutan rasional dan realistik. Ego-lah yang menyebabkan manusia mampu menundukkan hasrat hewani manusia dan hidup sebagai wujud yang rasional ( pada pribadi yang normal ). Ketika id mendesak Anda untuk menampar orang yang telah menyakiti Anda, ego segera mengingatkan jika itu Anda lakukan, Anda akan diseret ke kantor polisi karena telah main hakim sendiri. Jika Anda menuruti desakan id, Anda akan konyol. Jadi, ego adalah aspek psikologis dari kepribadian yang timbul karena kebutuhan manusia untuk berhubungan secara baik dengan dunia kenyataan. Orang lapar tentu perlu makan untuk menghilangkan ketegangan yang ada di dalam dirinya. Ini berarti bahwa individu harus dapat membedakan antara khayalan dengan kenyataan tentang makanan. Di sinilah letak perbedaan pokok antara id dan ego. Id hanya mengenal dunia subjektif (dunia batin), sementara ego dapat membedakan sesuatu yang hanya ada di dalam batin dan sesuatu yang ada di dunia luar (dunia objektif, dunia kenyataan). Lain dengan id, ego berpegang pada prinsip kenyataan ( reality principle ) dan berhubungan dengan proses sekunder. Tujuan prinsip realitas adalah mencari objek yang tepat sesuai dengan kenyataan untuk mereduksi ketegangan yang timbul di dalam diri. Proses sekunder ini adalah proses berpikir realistik. Dengan mempergunakan proses sekunder, Ego merumuskan sesuatu rencana untuk pemuasan kebutuhan dan mengujinya dengan suatu tindakan untuk mengetahui apakah rencananya itu berhasil atau tidak.
Aktivitas Ego ini bisa sadar, pra sadar atau tak disadari. Namun untuk sebagian besar adalah disadari. Contoh aktivitas Ego yang disadari antara lain : persepsi lahiriah ( saya melihat teman saya tertawa di ruang itu ); persepsi batiniah ( saya merasa sedih ) dan berbagai ragam proses intelektual. Aktivitas pra sadar dapat dicontohkan fungsi ingatan ( saya mengingat kembali nama teman yang tadinya telah saya lupakan ). Sedangkan aktivitas tak sadar muncul dalam bentuk mekanisme pertahanan diri ( defence mechanisme ), misalnya orang yang selalu menampilkan perangai temperamental untuk menutupi ketidakpercayaan-dirinya; ketidakmampuannya atau untuk menutupi berbagai kesalahannya. Aktivitas Ego ini tampak dalam bentuk pemikiran-pemikiran yang objektif, yang sesuai dengan dunia nyata dan mengungkapkan diri melalui bahasa. Di sini, the pleasure principle dari Id diganti dengan the reality principle. Sebagai misal, ketika seseorang merasa lapar. Rasa lapar ini bersumber dari dorongan Id untuk fungsi menjaga kelangsungan hidup. Id tidak peduli apakah makanan yang dibutuhkan nyata atau sekadar angan-angan. Baginya, ia butuh makanan untuk memuaskan diri dari dorongan rasa lapar tersebut. Pada saat yang bersangkutan hendak memuaskan diri dengan mencari makanan, Ego mengambil peran. Ego berpendapat bahwa angan-angan tentang makanan tidak bisa memuaskan kebutuhan akan makanan. Harus dicari makanan yang benar-benar nyata. Selanjutnya, Ego mencari cara untuk mendapatkan makanan tersebut. Menurut Frued, tugas pokok Ego adalah menjaga integritas pribadi dan menjamin penyesuaian dengan alam realitas. Selain itu, juga berperan memecahkan konflik-konflik dengan realitas dan konflik-konflik dengan keinginan-keinginan yang tidak cocok satu sama lain. Ego juga mengontrol apa yang akan masuk ke dalam kesadaran dan apa yang akan dilakukan. Jadi, Fungsi Ego adalah menjaga integritas kepribadian dengan mengadakan sintesis psikis.
Meski id mampu melahirkan keinginan, namun ia tidak mampu memuaskannya. Subsistem yang kedua, ego berfungsi menjembatani tuntutan id dengan realitas di dunia luar. Ego merupakan mediator antara hasrat-hasrat hewani dengan tuntutan rasional dan realistik. Ego-lah yang menyebabkan manusia mampu menundukkan hasrat hewani manusia dan hidup sebagai wujud yang rasional ( pada pribadi yang normal ). Ketika id mendesak Anda untuk menampar orang yang telah menyakiti Anda, ego segera mengingatkan jika itu Anda lakukan, Anda akan diseret ke kantor polisi karena telah main hakim sendiri. Jika Anda menuruti desakan id, Anda akan konyol. Jadi, ego adalah aspek psikologis dari kepribadian yang timbul karena kebutuhan manusia untuk berhubungan secara baik dengan dunia kenyataan. Orang lapar tentu perlu makan untuk menghilangkan ketegangan yang ada di dalam dirinya. Ini berarti bahwa individu harus dapat membedakan antara khayalan dengan kenyataan tentang makanan. Di sinilah letak perbedaan pokok antara id dan ego. Id hanya mengenal dunia subjektif (dunia batin), sementara ego dapat membedakan sesuatu yang hanya ada di dalam batin dan sesuatu yang ada di dunia luar (dunia objektif, dunia kenyataan). Lain dengan id, ego berpegang pada prinsip kenyataan ( reality principle ) dan berhubungan dengan proses sekunder. Tujuan prinsip realitas adalah mencari objek yang tepat sesuai dengan kenyataan untuk mereduksi ketegangan yang timbul di dalam diri. Proses sekunder ini adalah proses berpikir realistik. Dengan mempergunakan proses sekunder, Ego merumuskan sesuatu rencana untuk pemuasan kebutuhan dan mengujinya dengan suatu tindakan untuk mengetahui apakah rencananya itu berhasil atau tidak.
Aktivitas Ego ini bisa sadar, pra sadar atau tak disadari. Namun untuk sebagian besar adalah disadari. Contoh aktivitas Ego yang disadari antara lain : persepsi lahiriah ( saya melihat teman saya tertawa di ruang itu ); persepsi batiniah ( saya merasa sedih ) dan berbagai ragam proses intelektual. Aktivitas pra sadar dapat dicontohkan fungsi ingatan ( saya mengingat kembali nama teman yang tadinya telah saya lupakan ). Sedangkan aktivitas tak sadar muncul dalam bentuk mekanisme pertahanan diri ( defence mechanisme ), misalnya orang yang selalu menampilkan perangai temperamental untuk menutupi ketidakpercayaan-dirinya; ketidakmampuannya atau untuk menutupi berbagai kesalahannya. Aktivitas Ego ini tampak dalam bentuk pemikiran-pemikiran yang objektif, yang sesuai dengan dunia nyata dan mengungkapkan diri melalui bahasa. Di sini, the pleasure principle dari Id diganti dengan the reality principle. Sebagai misal, ketika seseorang merasa lapar. Rasa lapar ini bersumber dari dorongan Id untuk fungsi menjaga kelangsungan hidup. Id tidak peduli apakah makanan yang dibutuhkan nyata atau sekadar angan-angan. Baginya, ia butuh makanan untuk memuaskan diri dari dorongan rasa lapar tersebut. Pada saat yang bersangkutan hendak memuaskan diri dengan mencari makanan, Ego mengambil peran. Ego berpendapat bahwa angan-angan tentang makanan tidak bisa memuaskan kebutuhan akan makanan. Harus dicari makanan yang benar-benar nyata. Selanjutnya, Ego mencari cara untuk mendapatkan makanan tersebut. Menurut Frued, tugas pokok Ego adalah menjaga integritas pribadi dan menjamin penyesuaian dengan alam realitas. Selain itu, juga berperan memecahkan konflik-konflik dengan realitas dan konflik-konflik dengan keinginan-keinginan yang tidak cocok satu sama lain. Ego juga mengontrol apa yang akan masuk ke dalam kesadaran dan apa yang akan dilakukan. Jadi, Fungsi Ego adalah menjaga integritas kepribadian dengan mengadakan sintesis psikis.
3. Superego
Superego adalah sistem kepribadian terakhir yang ditemukan oleh Sigmund Frued. Sistem kepribadian ini seolah-olah berkedudukan di atas Ego, karena itu dinamakan Superego. Fungsinya adalah mengkontrol ego. Ia selalu bersikap kritis terhadap aktivitas ego, bahkan tak jarang menghantam dan menyerang ego. Superego ini termasuk ego, dan seperti ego ia mempunyai susunan psikologis lebih kompleks, tetapi ia juga memiliki perkaitan sangat erat dengan id. Superego dapat menempatkan diri di hadapan Ego serta memperlakukannya sebagai objek dan caranya kerapkali sangat keras. Bagi Ego sama penting mempunyai hubungan baik dengan Superego sebagaimana halnya dengan Id. Ketidakcocokan antara ego dan superego mempunyai konsekuensi besar bagi psikis. Seperti dikemukakan di atas, Superego merupakan sistem kepribadian yang melepaskan diri dari Ego. Aktivitas Superego dapat berupa self observation, kritik diri, larangan dan berbagai tindakan refleksif lainnya. Superego terbentuk melalui internalisasi (proses memasukkan ke dalam diri) berbagai nilai dan norma yang represif yang dialami seseorang sepanjang perkembangan kontak sosialnya dengan dunia luar, terutama di masa kanak-kanak. Nilai dan norma yang semula “asing” bagi seseorang, lambat laun diterima dan dianggapnya sebagai sesuatu yang berasal dari dalam dirinya. Larangan, perintah, anjuran, cita-cita, dan sebagainya yang berasal dari luar ( misalnya orangtua dan guru ) diterima sepenuhnya oleh seseorang, yang lambat laun dihayati sebagai miliknya. Larangan “Engkau tidak boleh berbohong“ Engkau harus menghormati orang yang lebih tua” dari orangtuanya menjadi “Aku tidak boleh berbohong “Aku harus menghormati orang yang lebih tua”. Dengan demikian, Superego berdasarkan nilai dan norma-norma yang berlaku di dunia eksternal, kemudian melalui proses internalisasi, nilai dan norma-norma tersebut menjadi acuan bagi perilaku yang bersangkutan. Superego merupakan dasar moral dari hati nurani. Aktivitas superego terlihat dari konflik yang terjadi dengan ego, yang dapat dilihat dari emosi-emosi, seperti rasa bersalah, rasa menyesal, juga seperti sikap observasi diri, dan kritik kepada diri sendiri.
Konflik antara ego dan superego, dalam kadar yang tidak sehat, berakibat timbulnya emosi-emosi seperti rasa bersalah, menyesal, rasa malu dan seterusnya. Dalam batas yang wajar, perasaan demikian normal adanya. Namun, pada beberapa orang hidupnya sangat disiksa oleh superegonya, sehingga tidak mungkin lagi untuk hidup normal
Superego adalah sistem kepribadian terakhir yang ditemukan oleh Sigmund Frued. Sistem kepribadian ini seolah-olah berkedudukan di atas Ego, karena itu dinamakan Superego. Fungsinya adalah mengkontrol ego. Ia selalu bersikap kritis terhadap aktivitas ego, bahkan tak jarang menghantam dan menyerang ego. Superego ini termasuk ego, dan seperti ego ia mempunyai susunan psikologis lebih kompleks, tetapi ia juga memiliki perkaitan sangat erat dengan id. Superego dapat menempatkan diri di hadapan Ego serta memperlakukannya sebagai objek dan caranya kerapkali sangat keras. Bagi Ego sama penting mempunyai hubungan baik dengan Superego sebagaimana halnya dengan Id. Ketidakcocokan antara ego dan superego mempunyai konsekuensi besar bagi psikis. Seperti dikemukakan di atas, Superego merupakan sistem kepribadian yang melepaskan diri dari Ego. Aktivitas Superego dapat berupa self observation, kritik diri, larangan dan berbagai tindakan refleksif lainnya. Superego terbentuk melalui internalisasi (proses memasukkan ke dalam diri) berbagai nilai dan norma yang represif yang dialami seseorang sepanjang perkembangan kontak sosialnya dengan dunia luar, terutama di masa kanak-kanak. Nilai dan norma yang semula “asing” bagi seseorang, lambat laun diterima dan dianggapnya sebagai sesuatu yang berasal dari dalam dirinya. Larangan, perintah, anjuran, cita-cita, dan sebagainya yang berasal dari luar ( misalnya orangtua dan guru ) diterima sepenuhnya oleh seseorang, yang lambat laun dihayati sebagai miliknya. Larangan “Engkau tidak boleh berbohong“ Engkau harus menghormati orang yang lebih tua” dari orangtuanya menjadi “Aku tidak boleh berbohong “Aku harus menghormati orang yang lebih tua”. Dengan demikian, Superego berdasarkan nilai dan norma-norma yang berlaku di dunia eksternal, kemudian melalui proses internalisasi, nilai dan norma-norma tersebut menjadi acuan bagi perilaku yang bersangkutan. Superego merupakan dasar moral dari hati nurani. Aktivitas superego terlihat dari konflik yang terjadi dengan ego, yang dapat dilihat dari emosi-emosi, seperti rasa bersalah, rasa menyesal, juga seperti sikap observasi diri, dan kritik kepada diri sendiri.
Konflik antara ego dan superego, dalam kadar yang tidak sehat, berakibat timbulnya emosi-emosi seperti rasa bersalah, menyesal, rasa malu dan seterusnya. Dalam batas yang wajar, perasaan demikian normal adanya. Namun, pada beberapa orang hidupnya sangat disiksa oleh superegonya, sehingga tidak mungkin lagi untuk hidup normal
Ketiga
komponen diatas berkembang melalui tahap-tahap perkembangan psikoseksual. Freud
menggunakan istilah seksual untuk segala tindakan dan fikiran yang memberi
kenikmatan atau kepuasan, istilah psikoseksual digunakan untuk menunjukkan
bahwa proses perkembangan psikologis ditandai dengan adanya libido (energi
seksual) yang dipusatkan pada daerah-daerah tubuh tertentu yang berbeda-beda.
Freud yakin bahwa perkembangan manusia melewati lima tahap perkembangan
psikoseksual dan bahwa setiap perkembangan tersebut individu mengalami pada
satu bagian tubuh lebih daripada bagian tubuh yang lain.
Tahap-tahap Perkembangan
Psikoseksual Freud
Tahap
|
Usia/Tahun
|
Ciri-ciri Perkembangan
|
Oral
|
0-1
|
Bayi merasakan kenikmatan pada daerah
mulut. Mengunyah, mengigit, dan mengsisap adalah sumber utama kenikmatan.
|
Anal
|
1-3
|
Kenikmatan terbesar anak terdapat di
sekitar daerah lubang anus. Rangsangan pada daerah anus ini berkaitan erat
dengan kegiatan buang air besar
|
Phalic
|
3-6
|
Kenikmatan berfokus pada alat kelamin,
ketika anak menemukan bahwa manipulasi diri dapat memberikan kenikmatan. Anak
melai menaruh perhatian pada perbedaan-perbedaan anatomik anatara laki-laki
dan perempuan,terhadap asal-usul bayi dan terhadaphal-hal yang berkaitan
dengan kegiatan seks.
|
Latency
|
6-12
|
Anak menekan semua minat terhadap seks
dan mengembangkan keterampilan sosial dan intelektual. Kegiatan ini
menyalurkan banyak energianak ke dalam bidang-bidang yang aman secara
emosional dan menolong anak melupakan konflik pada tahap phalic yang sangat menekan.
|
Genital
|
12-Dewasa
|
Dorongan-dorongan seks yang ada pada
masa phalic kembali berkembang,
setelah berada dalam keadaan tenang selama masa latency. Kematangan fisiologis ketika anak memasuki masa remaja,
mempengaruhi timbulnya daerah-daerah erogen pada alat kelamin sebagai sumber
kenikmatan.
|
SUMBER : Diadaptasi dari Zigler
& Stevenson (1998).
Freud menggunakan istilah “erogenous zones” (daerah
kenikmatannn seksual) untuk menunjukkan tiga bagian tubuh-mulut, dubur, dan
alat kelamin-sebagai daerah yang mengalami kenikmatan khusus yang sangat kuat
dan yang memberikan kualitas pada setiap tahap perkembangan. Pada setiap tahap
perkembangan, anak merasakan kenikmatan tertentu pada daerah tersebut, dan
selalu berusaha mencari objek atau pun melakukan kegiatan yang dapat memuaskan.
Tetapi pada saat yang sama muncul konflik dengan tuntutan-tuntutan realitas
yang harus diatasi.
C. Teori Psikososial Erikson
Erik
Erikson (1902 – 1994) adalah salah seorang teoritis ternama di bidang
perkembangan rentang-hidup. Ia dipandang sebagai tokoh utama dalam teori
psikoanalitik kontemporer. Hal ini cukup beralasan, sebab tidak ada tokoh lain
sejak kematian Sigmund Freud yang telah bekerja dengan begitu teliti untuk
menguraikan dan memperluas struktur psikoanalisis yang dibangun oleh Freud
serta merumuskan kembali prinsip-prinsipnya guna memahami dunia modern. Salah
satu sumbangannya yang terbesar dalam psikologi perkembangan adalah
psikososial. Istilah “psikososial” dalam kaitannya dengan perkembngan manusia
berarti bahwa tahap-tahap kehidupan seseorang dari lahir sampai mati dibentuk
oleh pengaruh-pengaruh sosial yang berinteraksi dengan suatu organisme yang
menjadi matang secara fisik dan psikologis ( Hall & Lindzey, 1993 )
Meskipun
teori perkembangan kepribadian yang dirumuskan Erikson mempunyai kemiripan
dengan teori Freud, namun dalam beberapa hal keduanya berbeda pendapat. Erikson
misalnya, mengatakan bahwa individu berkembang dalam tahap – tahap psikososial,
yang berbeda dengan tahap – tahap psikoseksual
Freud. Erikson menekankan perubahan perkembangan sepanjang siklus
kehidupan manusia,sementara Freud berpendapat bahwa kepribadian dasar individu
dibentuk pada lima tahun pertama kehidupan. Disamping itu, dalam teori
psikososial, Erikson lebih menekankan faktor ego, sementara dalam teori
psikoseksual, Freud ledih mementingkan id.
Menurut
teori psikososial Erikson, kepribadian terbentuk ketika seseorang melewati
tahap psikososial sepanjang hidupnya. Masing – masing tahap memiliki tugas
perkembangan yang khas, dan mengharuskan individu menghadapi dan menyelesaikan
krisis. Erikson melihat bahwa krisis tersebut sudah ada sejak lahir, tetapi
pada saat – saat tertentu dalam siklus kehidupan, krisis menjadi dominan. Bagi
Erikson, krisis bukanlah suatu bencana, tetapi suatu titik balik peningkatan uulnerabality (kerentanan) dan potensi.
Untuk setiap krisis, selalu ada pemecahan yang negatif dan positif. Pemecahan
yang positif, akan menghasilkan kesehatan jiwa, sedangkan pemecahan yang
negatif akan membentuk penyesuaian diri yang buruk. Semakin berhasil seseorang mengatasi
krisis, akan semakin sehat perkembangannya ( Santrock, 1998).
Menurut
teori psikososial Erikson, perkembangan manusia dibedakan berdasarkan kualitas
ego dalam delapan tahap perkembangan. Empat tahap pertama terjadi pada masa bayi dan masa kanak-kanak, tahap
kelima pada masa adolesen, dan tiga tahap terakhir pada masa dewasa dan masa
tua. Dari delapan tahap perkembangan tersebut, Erikson lebih memberikan
penekanan pada masa adolesen, karena masa tersebut merupakan masa peralihan
dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Apa yang terjadi pada masa ini, sangat
penting artinya bagi kehidupan dewasa. Berikut ini akan diuraikan secara
singkat kedelapan tahap perkembangan psikososial erikson tersebut.
Tahap
kepercayaan dan ketidakpercayaan (trust versus mistrust) yaitu tahap
psikososial yang terjadi selama tahun-tahun
pertama kehidupan. Pada masa ini, bayi mengalami konflik antara percaya
dan tidak percaya. Rasa percaya menuntut perasaan nyaman secara fisik dan
sejumlah kecil ketakutan serta kekhawatiran akan masa depan. Pada saat itu,
hubungan bayi denagn ibu menjadi sangat penting. Kalau ibu member bayai makan,
membuatnya hangat, memeluk dan mengajaknya bicara, maka bayi tersebut akan
memperoleh kesan bahwa lingkungannya dapat menerima kehadirannya secara hangat
dan bersahabat. Inilah yang menjadi landasan pertama bagi rasa percaya.
Sebaliknya, kalau ibu tidak dapat memenuhi kebutuhan bayi, maka dalam diri bayi
akan timbul rasa ketidakpercayaaan terhadap lingkungannya.
Tahap
otonomi dengan rasa malu dan ragu ( autonomi versus shame and doubt ), yaitu
tahap kedua perkembangan psikososial yang berlangsung pada akhir masa bayi dan
dan masa baru pandai berjalan. Setelah memperoleh kepercayaan diri dari
pengasuh mereka, bayi mulai menemukan bahwa perilaku mereka adalah milik mereka
sendiri. Mereka mulai menyatakan rasa mandiri atau otonomi mereka. Mereka
menyadari kemauan mereka. Pada tahap ini, bila orang tua selalu memberikan
dorongan kepada anak agar dapat berdiri diatas kedua kaki mereka sendiri,
sambil melatih kemempuan-kemampuan mereka, maka anak akan mampu mengembangkan
pengendalian atas otot, dorongan, lingkunagan dan diri sendiri (otonom).
Sebaliknya, jika orang tua cenderung menunutut terlalu banyak atau terlalu
membatasi anak untuk menyelidiki anak akan mengalami rasa malu dan ragu-ragu.
Tahap
prakarsa dan rasa bersalah (iniative versus guilt), yaitu tahap perkembangan
psikososial ketiga yang berlangsung selama tahun-tahun prasekolah. Pada tahap
ini anak terlihat sangat aktif, suka berlari, berkelahi, memanjat-manjat dan
suka menantang lingkungannya. Dengan menggunakan bahasa, fantasi, dan permainan
khayalan, dia memperoleh perasaan harga diri. Bila orangtua bias memahami,
menjawab pertanyaan anak, dan menerima keaktifan anak dalam bermain, maka
anak-anak akan belajar untuk mendekati apa yang diinginkan, dan perasaan
inisiatif menjadi kuat. Sebaliknya, bila orang tua kurang memahami, kurang
sabar, suka memeberikan hukuman, danmenganggap bahwa pengajuan pertanyaan,
bermain dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan anak tidak bermanfaat, maka anak
akan merasa bersalah dan menjadi enggan untuk mengambil inisiatif untuk
mendekati apa yang diinginkannya.
Tahap
kerajinan dan rasa rendah diri (industry
versus inferiority), yaitu tahap perkembangan
psikososial keempat yang berlangsung kira-kira pada tahun-tahun sekolah dasar.
Pada tahun ini, anak mulai memasuki dunia yang baru, yaitu sekolah dengan
segala aturan dan tujuan. Anak mulai mengerahka energy mereka menuju penguasaan
pengetahuan dan keterampilan intelektual. Alat-alat permainan dan kegiatan
bermain berangsur-angsur digantikan oleh perhatian pada situasi-situasi
produktif serta alat-alat yang dipakai untuk bekerja. Akan tetapi, apabila anak
tidak berhasil menguasai keterampilan dan tugas-tugas yang dipilihnya atau yang
diberikan oleh guru-guru dan orang tuanya, maka anak akan mengembangkan
perasaan rendah diri.
Tahap
identitas dan kekacauan identitas (identity
versus identity confusion), yaitu tahap perkembangan psikososial yang kelima
yang berlangsung selama tahun-tahun masa remaja. Pada tahap merasakan suatu
perasaan tentang identitasnya sendiri, perasaan bahwa ia adalah individu unik
yang siap memasuki suatu peran yang berarti di tenga masyarakat, baik peran
yang bersifat menyesuaikan diri maupun yang bersifat memperbarui. Tetapi,
karena peralihan yang sulit dari masa kanak-kanak ke masa dewasa di satu pihak
dan karena kepekaan terhadap perubahan sosial dan historis lain, maka anak akan
mengalami krisis identitas. Bila krisis ini tidak segera diatasi, maka anak
akan mengalami kebingungan peran atau kekacauan identitas, yang dapat
menyebabkan anak merasa terisolasi, cemas, hampa, dan bimbang.
Tahap
keintiman dan isolasi (intimacy versus isolation), yaitu tahap perkembangan
psikososial keenam yang dialami individu selama tahun-tahun awal masa dewasa.
Tugas perkembangan individu pada masa ini adalah membentuk relasi intim dengan
orang lain. Menurut Erikson, keintiman tersebut biasanya menuntut perkembangan
seksual yang mengarah pada hubungan seksual dengan lawan jenis yang dicintai.
Bahaya dari tidak tercapainya keintiman dari tahap ini adalah isolasi, yakni
kecenderungan menghindari berhubungan secara intim dengan orang lain, kecuali
dalam lingkup yang amat terbatas.
Tahap
generativitas dan stagnasi (generativitv versus stagnation), yaitu perkembangan
psikososial ketujuh yang dialami individu selama pertengahan masa dewasa. Cirri
utama tahap generativitas adalah perhatian terhadap apa yang dihasilkan
(keturunan, produk-produk, ide-ide, dan sebagainya) serta pembentukan dan
penetapan garis-garis pedoman untuk generasi mendatang. Kepedulian seseorang
terhadap pengembangan generasi muda inilah yang diistilahkan oleh Erikson
dengan “generativitas”. Apabila generativitas ini lemah atau tidak diungkapkan,
maka kepribadian akan mundur, mengalami pemiskinan dan stagnasi.
Tahap
intregitas dan keputusasaan (intregity versus despair), yaitu tahap
perkembangan kedelapan yang dialami individu selama akhir dewasa. Integritas
terjadi ketika seseorang pada tahun-tahun terakhir kehidupannya menoleh
kebelakang dan mengevaluasi apa yang telah dilakukan dalam hidupnya selama ini,
menerima dan menyesuaikan diri dengan keberhasilan dan kegagalan yang
dialaminya, merasa aman dan tenteram, serta menikmati hidup sebagi yang
berharga dan layak. Akan tetapi bagi orang tua yang dihantui oleh perasaan
bahwa hidupnya selama ini sama sekali tidak mempunyai makna ataupun memberikan
kepuasan pada dirinya, maka ia akan merasa putus asa.
selain tokoh mereka ada nggak?
BalasHapusThx, info yang menambah wawasan
BalasHapusContoh teori psikodinamika ada ndak
BalasHapuscontoh teori psikodinamika ada yah????
BalasHapus