A.
Definisi
Tuna Netra
Tunanetra
adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan. Tunanetra dapat
diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu: buta total (Blind) dan low vision.
Definisi
Tunanetra menurut Kaufman & Hallahan adalah individu yang memiliki lemah
penglihatan atau akurasi penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau
tidak lagi memiliki penglihatan. Karena tunanetra memiliki keterbataan dalam
indra penglihatan maka proses pembelajaran menekankan pada alat indra yang lain
yaitu indra peraba dan indra pendengaran.
Pengertian
tunanetra menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tidak dapat melihat
(KBBI, 1989:p.971) dan menurut iterature berbahasa Inggris visually
handicapped atau visual impaired. Pada umumnya orang mengira bahwa
tunanetra identik dengan buta, padahal tidaklah demikian karena tunanetra dapat
diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori.
Anak yang
mengalami gangguan penglihatan dapat didefinisikan sebagai anak yang rusak
penglihatannya yang walaupun dibantu dengan perbaikan, masih mempunyai pengaruh
yang merugikan bagi anak yang yang bersangkutan (Scholl, 1986:p.29). Pengertian
ini mencakup anak yang masih memiliki sisa penglihatan dan yang buta.
Dengan
demikian, pengertian anak tunanetra adalah individu yang indera penglihatannya
(kedua-duanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam
kegiatan sehari-hari seperti orang awas. Anak-anak dengan gangguan penglihatan
ini dapat diketahui dalam kondisi berikut :
~
Ketajaman
penglihatannya kurang dari ketajaman yang dimiliki orang awas.
~
Terjadi kekeruhan
pada lensa mata atau terdapat cairan tertentu.
~
Posisi mata
sulit dikendalikan oleh syaraf otak.
~
Terjadi
kerusakan susunan syaraf otak yang berhubungan dengan penglihatan.
Dari
kondisi-kondisi di atas, pada umumnya yang digunakan sebagai patokan apakah
seorang anak termasuk tunanetra atau tidak ialah berdasarkan pada tingkat
ketajaman penglihatannya. Untuk mengetahui ketunanetraan dapat digunakan suatu
tes yang dikenal sebagai Snellen Card.
B. Klasifikasi dan Karakteristik Anak Tuna Netra
Ø
Klasifikasi Anak Tunanetra
Berbeda
dengan yang diketahui oleh masyarakat umum, klasifikasi tunanetra yang akan
dijelaskan di bawah ini cukup beragam. Klasifikasi ini bukan untuk
menyekat-sekatkan tunanetra, melainkan sebagai starting point (titik
dimulainya) asesmen agar mempermudah dalam menyediakan pelayanan pendidikan
khusus (pendidikan inklusi). Klasifikasi yang dialami anak tuna netra antara
lain:
1. Menurut Lowenfeld, (1955:p.219), klasifikasi anak tunanetra yang
didasarkan pada waktu terjadinya ketunanetraan, yaitu :
a. Tunanetra sebelum dan sejak lahir, yakni mereka yang sama sekali tidak
memiliki pengalaman penglihatan.
b. Tunanetra setelah lahir atau pada usia kecil; mereka telah memiliki
kesan-kesan serta pengalaman visual tetapi belum kuat dan mudah terlupakan.
c. Tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja, mereka telah memiliki
kesan-kesan visual dan meninggalkan pengaruh yang mendalam terhadap proses
perkembangan pribadi.
d. Tunanetra pada usia dewasa, pada umumnya mereka yang dengan segala
kesadaran mampu melakukan latihan-latihan penyesuaian diri.
e. Tunanetra dalam usia lanjut, sebagian besar sudah sulit mengikuti
latihan-latihan penyesuaian diri.
f. Tunanetra akibat bawaan (partial sight bawaan)
2. Klasifikasi anak tunanetra berdasarkan kemampuan daya penglihatan, yaitu
:
a. Tunanetra
ringan (defective vision/low vision); yakni mereka yang memiliki
hambatan dalam penglihatan akan tetapi mereka masih dapat mengikuti
program-program pendidikan dan mampu melakukan pekerjaan/kegiatan yang
menggunakan fungsi penglihatan.
b. Tunanetra
setengah berat (partially sighted); yakni mereka yang kehilangan
sebagian daya penglihatan, hanya dengan menggunakan kaca pembesar mampu
mengikuti pendidikan biasa atau mampu membaca tulisan yang bercetak tebal.
c. Tunanetra berat (totally blind); yakni mereka yang sama sekali tidak
dapat melihat.
3.
Menurut WHO,
klasifikasi didasarkan pada pemeriksaan klinis, yaitu :
a.
Tunanetra
yang memiliki ketajaman penglihatan kurang dari 20/200 dan atau memiliki bidang
penglihatan kurang dari 20 derajat.
b.
Tunanetra
yang masih memiliki ketajaman penglihatan antara 20/70 sampai dengan 20/200
yang dapat lebih baik melalui perbaikan.
4.
Menurut
Hathaway, klasifikasi didasarkan dari segi pendidikan, yaitu :
a.
Anak yang
memiliki ketajaman penglihatan 20/70 atau kurang setelah memperoleh pelayanan
medis.
b.
Anak yang
mempunyai penyimpangan penglihatan dari yang normal dan menurut ahli mata dapat
bermanfaat dengan menyediakan atau memberikan fasilitas pendidikan yang khusus.
5.
Menurut
Howard dan Orlansky, klasifikasi didasarkan pada kelainan-kelainan yang terjadi
pada mata, yaitu :
a.
Kelainan ini
disebabkan karena adanya kesalahan pembiasan pada mata. Hal ini terjadi bila
cahaya tidak terfokus sehingga tidak jatuh pada retina. Peristiwa ini dapat
diperbaiki dengan memberikan lensa atau lensa kontak. Kelainan-kelainan itu,
antara lain :
~
Myopia adalah penglihatan jarak dekat, bayangan tidak terfokus dan jatuh di
belakang retina. Penglihatan akan menjadi jelas kalau objek didekatkan. Untuk
membantu proses penglihatan pada penderita Myopia digunakan kacamata koreksi
dengan lensa negatif.
~
Hyperopia adalah penglihatan jarak jauh, bayangan tidak terfokus dan jatuh di
depan retina. Penglihatan akan menjadi jelas jika objek dijauhkan. Untuk
membantu proses penglihatan pada penderita Hyperopia digunakan kacamata koreksi
dengan lensa positif.
~
Astigmatisme adalah penyimpangan atau penglihatan kabur yang disebabkan karena
ketidakberesan pada kornea mata atau pada permukaan lain pada bola mata
sehingga bayangan benda baik pada jarak dekat maupun jauh tidak terfokus jatuh
pada retina. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita astigmatisme
digunakan kacamata koreksi dengan lensa silindris.
Ø
Karakteristik Anak Tunanetra
1) Fisik
Keadaan fisik anak tunanetra tidak berbeda dengan anak
sebaya lainnya. Perbedaan nyata diantara mereka hanya terdapat pada organ penglihatannya.
Gejala tunanetra yang dapat diamati dari segi fisik diantaranya :
1) Mata juling
2) Sering berkedip
3) Menyipitkan mata
4) (kelopak) mata merah
5) Mata infeksi
6) Gerakan mata tak beraturan dan cepat
7) Mata selalu berair (mengeluarkan air mata)
8)
Pembengkakan pada kulit tempat tumbuh bulu mata.
2) Perilaku (Behavior)
Ada beberapa gejala tingkah laku yang tampak sebagai petunjuk dalam
mengenal anak yang mengalami gangguan penglihatan secara dini :
a)
Menggosok
mata secara berlebihan.
b)
Menutup atau
melindungi mata sebelah, memiringkan kepala atau mencondongkan kepala ke depan.
c)
Sukar membaca
atau dalam mengerjakan pekerjaan lain yang sangat memerlukan penggunaan mata.
d)
Berkedip
lebih banyak daripada biasanya atau lekas marah apabila mengerjakan suatu
pekerjaan.
e)
Membawa
bukunya ke dekat mata.
f)
Tidak dapat
melihat benda-benda yang agak jauh.
g)
Menyipitkan
mata atau mengkerutkan dahi.
h)
Tidak
tertarik perhatiannya pada objek penglihatan atau pada tugas-tugas yang
memerlukan penglihatan seperti melihat gambar atau membaca.
i)
Janggal dalam
bermain yang memerlukan kerjasama tangan dan mata.
j)
Menghindar
dari tugas-tugas yang memerlukan penglihatan atau memerlukan penglihatan jarak
jauh.
Penjelasan lainnya berdasarkan adanya beberapa keluhan seperti :
a)
Mata gatal, panas
atau merasa ingin menggaruk karena gatal.
b)
Banyak
mengeluh tentang ketidakmampuan dalam melihat
c)
Merasa pusing
atau sakit kepala.
d)
Kabur atau
penglihatan ganda.
3) Psikis
Secara psikis
anak tunanetra dapat dijelaskan sebagai berikut :
a) Mental/intelektual
Intelektual
atau kecerdasan anak tunanetra umumnya tidak berbeda jauh dengan anak
normal/awas. Kecenderungan IQ anak tunanetra ada pada batas atas sampai batas
bawah, jadi ada anak yang sangat pintar, cukup pintar dan ada yang kurang
pintar. Intelegensi mereka lengkap yakni memiliki kemampuan dedikasi, analogi,
asosiasi dan sebagainya. Mereka juga punya emosi negatif dan positif, seperti
sedih, gembira, punya rasa benci, kecewa, gelisah, bahagia dan sebagainya.
b) Sosial
Hubungan
sosial yang pertama terjadi dengan anak adalah hubungan dengan ibu, ayah, dan
anggota keluarga lain yang ada di lingkungan keluarga. Kadang kala ada orang
tua dan anggota keluarga yang tidak siap menerima kehadiran anak tunanetra,
sehingga muncul ketegangan, gelisah di antara keluarga. Akibat dari
keterbatasan rangsangan visual untuk menerima perlakuan orang lain terhadap
dirinya.
Tunanetra mengalami hambatan dalam perkembangan kepribadian dengan
timbulnya beberapa masalah antara lain:
a)
Curiga
terhadap orang lain
Akibat dari keterbatasan rangsangan visual, anak tunanetra kurang mampu
berorientasi dengan llingkungan, sehingga kemampuan mobilitaspun akan
terganggu. Sikap berhati-hati yang berlebihan dapat berkembang menjadi sifat
curiga terhadap orang lain.
Untuk mengurangi rasa kecewa akibat keterbatasan kemampuan bergerak dan
berbuat, maka latihan-latihan orientasi dan mobilitas, upaya mempertajam fungsi
indera lainnya akan membantu anak tunanetra dalam menumbuhkan sikap disiplin
dan rasa percaya diri.
b)
Perasaan
mudah tersinggung
Perasaan mudah tersinggung dapat disebabkan oleh terbatasnya rangsangan
visual yang diterima. Pengalaman sehari-hari yang selalu menumbuhkan kecewa
menjadikan seorang tunanetra yang emosional.
c)
Ketergantungan
yang berlebihan
Ketergantungan ialah suatu sikap tidak mau mengatasi kesulitan diri
sendiri, cenderung mengharapkan pertolongan orang lain. Anak tunanetra harus
diberi kesempatan untuk menolong diri sendiri, berbuat dan bertanggung jawab.
Kegiatan sederhana seperti makan, minum, mandi, berpakaian, dibiasakan dilakukan
sendiri sejak kecil.
d)
Akademis
Karakteristik Anak Tunanetra dalam Aspek Akademis Tilman& Osborn
(1969) menemukan beberapa perbedaan antara anak tunanetra dan anak awas.
a.
Anak
tunanetra menyimpan pengalaman-pengalaman khusus seperti halnya anak awas,
namun pengalaman-pengalaman tersebut kurang terintegrasikan.
b.
Anak
tunanetra mendapatkan angka yang hampir sama dengan anak awas, dalam hal
berhitung, informasi, dan kosakata, tetapi kurang baik dalam hal pemahaman
(comprehention) dan persaman.
c.
Kosa kata
anak tunanetra cenderung merupakan kata-kata yang definitif.
C. Pencegahan Terjadinya Tunanetra
Upaya yang
dapat dilakukan sebagai pencegahan terjadinya tunanetra dapat dikelompokkan
menjadi tiga macam yaitu: secara medis, sosial, dan edukatif.
1.
Pencegahan secara Medis
-
Melakukan pemeriksaan genetika
kepada dokter ahli sebelum menikah agar diketahui apakah gen yang mereka miliki
dapat menyebabkan kecacatan atau tidak pada anak yang kelak dilahirkan.
-
Menghindari terapi radio aktif
bagi ibu hamil, terutama pada usia kandungan tiga bulan pertama dan tiga bulan
ketiga. Diagnostik pada wanita hamil sebaiknya dilakukan sebelum hari ke-10
pada siklus menstruasi. Hal ini untuk mencegah terjadinya mutasi kromosom
sel-sel pada ovarium.
-
Pemberian vitamin A dosis tinggi
untuk mencegah kekurangan vitamin A. Dalam hal ini pemerintah sudah melakukan
upaya tersebut, dengan memberikan vitamin A secara gratis pada setiap balita.
-
Pencegahan terhadap virus menular
seperti virus rubella, syphilis dan sebagainya. Pencegahan terhada virus
Rubella dapat dilakukan dengan melakukan imunisasi rubella secara rutin
terutama pada anak perempuan usi 1 tahun sampai usia dewasa.
-
Melakukan pemeriksaan dini kepada
dokter mata apabila terjadi keluhan pada mata secara serius.
2.
Pencegahan secara Sosial
-
Memberikan penyuluhan mengenai
penyebab terjadinya tunanetra. Penyuluhan dapat diberikan melalui kegiatan PKK
karena seorang ibu memegang peranan penting dalam mencegah terjadinya
tunanetra.
-
Kegiatan yang dilakukan oleh
Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat). Pukesmas selaku instansi kesehatan,
tidak hanya melayani masyarakat umum, tapi juga berperan untuk menjaga
kesehatan anak-anak sekolah melalui Unit Kesehatan Sekolah (UKS), sehingga
dapat dilakukan pemeriksaan secara dini untuk mencegah wabah di sekolah
tersebut, kemudian juga dapat dilakukan pengamatan terhadap kondisi dan fungsi
penglihatan anak, seperti mata juling
(ringan atau berat), kesalahan dalam mebaca, keluhan (kepala pusing,
penglihatan kabur atau berkunang-kunang), kegiatan motorik, seperti memegang
buku terlalu jauh atau terlalu dekat, mata basah atau terus berair, dan kelopak
mata merah atau berkerak, serta melakukan tes ketajaman penglihatan dengan
kartu Snellen.
-
Meningkatkan perlindungan
keselamatan kerja pada para buruh di perusahaan-perusaaan, terutama pada
perusahaan yang banyak menggunakan bahan kimia.
3.
Pencegahan secara Edukatif
Dalam upaya pencegahan tunanetra secara edukatif, keluarga dan sekolah
memegang peranan yang sangat penting yang dapat dijelaskan sebagai berikut.
a)
Peranan Keluarga
Dari uraian terdahulu tentunya sudah dapat dimengerti bahwa ketunanetraan
dapat disebabkan antara lain oleh faktor kekurangan gizi, terutama vitamin A ,
penyakit serta kecelakaan.
Oleh karena itu, peran keluarga bertanggung jawab untuk pemberian gizi
yang baik, keluarga memegang peranan penring untuk menanamkan kebiasaan hidup
sehat, terutama dalam penggunaan dan pemeliharaan kesehatan penglihatannya.
b)
Peranan Sekolah
Sekolah sebagai wahana bagi anak untuk memperoleh berbagai pengetahuan,
turut berperan dalam upaya mencegah terjadinya ketunanetraan pada para siswa.
Upaya yang dapat dilakukan adalah memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang
berbagai penyakit mata serta cara mengatasi atau pencegahannya, memelihara
kesehatan diri dan lingkungannya, makan makanan yang banyak mengandung vitamin
A dan mengarahkannya agar menyukai makanan tersebut, menghindari permainan yang
membahayakan kesehatan mata terutama apada anak laki-laki yang senang bermain
ketapel, tembak-tembakan dengan menggunakan peluru mainan.
D. Kebutuhan dan Layanan Pendidikan
bagi Tunanetra
Anak
tunanetra sebagaimana anak lainnya, membutuhkan pendidikan untuk mengembangkan
potensi yang dimilikinya secara optimal. Oleh karena adanya gangguan
penglihatan, anak tunanetra membutuhkan layanan khusus untuk merehabilitasi
kelainannya, yang meliputi: latihan membaca dan menulis huruf Braille,
penggunaan tongkat, orientasi dan mobilitas, serta latihan visual/fungsional penglihatan.
Layanan
pendidikan bagi anak tunanetra dapat dilaksanakan melalui sistem segregasi,
yaitu secara terpisah dari anak awas; dan integrasi atau terpadu dengan anak
awas di sekolah biasa. Tempat pendidikan dengan sistem segregasi, meputi:
sekolah khusus (SLB-A), SDLB, dan kelas jauh/kelas kunjung. Bentuk-bentuk
keterpaduan yang dapat diikuti oleh anak tunanetra yang mengikuti sistem
integrasi, meliputi: kelas biasa dengan guru konsultan, kelas biasa dengan guru
kunjung, kelas biasa dengan ruang-ruang sumber, dan kelas khusus.
E.
Strategi
Pembelajaran Bagi Tuna Netra
Strategi
pembelajaran bagi anak tunanetra, pada dasarnya sama dengan strategi
pembelajaran bagi anak awas, hanya dalam pelaksanaannya memerlukan modifikasi
sehingga pesan atau materi pelajaran yang disampaikan dapat diterima/ditangkap
oleh anak tunanetra melalui indera-indera yang masih berfungsi.
Dalam
pembelajaran anak tunanetra, terdapat prinsip-prinsip yang harus
diperhatikan,antara lain prinsip individual, kekonkritan/pengalaman penginderaan,
totalitas, dan aktivitas mandiri (selfactivity).
Menurut
fungsinya, media pembelajaran dapat dibedakan menjadi, media untuk menjelaskan
konsep (alat peraga) dan media untuk membantu kelancaran proses pembelajaran
(alat bantu pembelajaran).
Alat bantu pembelajaran, antara lain meliputi: alat bantu menulis huruf
Braille (reglet, pen dan mesin ketik Braille); alat bantu membaca huruf Braille
(papan huruf dan optacon); alat bantu berhitung (cubaritma, abacus/sempoa,
speech calculator), serta alat bantu yang bersifat audio seperti tape-recorder.
Permasalahan strategi pembelajaran dalam
pendidikan anak tunanetra didasarkan pada dua pemikiran, yaitu :
1. Upaya memodifikasi lingkungan agar sesuai dengan kondisi anak (disatu sisi).
2. Upaya pemanfaatan secara optimal indera-indera yang masih berfungsi,
untuk mengimbangi kelemahan yang disebabkan hilangnya fungsi penglihatan (di
sisi lain).
Strategi pembelajaran dalam pendidikan anak
tunanetra pada hakekatnya adalah strategi pembelajaran umum yang diterapkan
dalam kerangka dua pemikiran di atas. Pertama-tama guru harus menguasai
karakteristik/strategi pembelajaran yang umum pada anak-anak awas, meliputi
tujuan, materi, alat, cara, lingkungan, dan aspek-aspek lainnya. Langkah
berikutnya adalah menganalisis komponen-komponen mana saja yang perlu atau
tidak perlu dirubah/dimodifikasi dan bagaimana serta sejauh mana modifikasi itu
dilakukan jika perlu. Pada tahap berikutnya, pemanfaatan indera yang masih
berfungsi secara optimal dan terpadu dalam praktek/proses pembelajaran memegang
peran yag sangat penting dalam menentukan keberhasilan belajar.
Dalam pembelajaran anak tunanetra, terdapat prinsip-prinsip yang harus
diperhatikan, antara lain :
1) Prinsip
Individual
Prinsip individual adalah prinsip umum dalam pembelajaran manapun (PLB
maupun pendidikan umum) guru dituntut untuk memperhatikan adanya
perbedaan-perbedaan individu. Dalam pendidikan tunanetra, dimensi perbedaan
individu itu sendiri menjadi lebih luas dan kompleks. Di samping adanya
perbedaan-perbedaan umum seperti usia, kemampuan mental, fisik, kesehatan,
sosial, dan budaya, anak tunanetra menunjukkan sejumlah perbedaan khusus yang
terkait dengan ketunanetraannya (tingkat ketunanetraan, masa terjadinya kecacatan,
sebab-sebab ketunanetraan, dampak sosial-psikologis akibat kecacatan, dll).
Secara umum, harus ada beberapa perbedaan layanan pendidikan antara anak low
vision dengan anak yang buta total. Prinsip layanan individu ini lebih jauh
mengisyaratkan perlunya guru untuk merancang strategi pembelajaran yang sesuai
dengan keadaan anak. Inilah alasan dasar terhadap perlunya (Individual
Education Program – IEP).
2) Prinsip
kekonkritan/pengalaman penginderaan
Strategi pembelajaran yang digunakan oleh guru harus memungkinkan anak
tunanetra mendapatkan pengalaman secara nyata dari apa yang dipelajarinya.
Dalam bahasa Bower (1986) disebut sebagai pengalaman penginderaan langsung.
Anak tunanetra tidak dapat belajar melalui pengamatan visual yang memiliki
dimensi jarak, bunga yang sedang mekar, pesawat yang sedang terbang, atau
seekor semut yang sedang mengangkut makanan. Strategi pembelajaran harus
memungkinkan adanya akses langsung terhadap objek, atau situasi. Anak tunanetra
harus dibimbing untuk meraba, mendengar, mencium, mengecap, mengalami situasi
secara langsung dan juga melihat bagi anak low vision. Prinsip ini
sangat erat kaitannya dengan komponen alat/media dan lingkungan pembelajaran.
Untuk memenuhi prinsip kekonkritan, perlu tersedia alat atau media pembelajaran
yang mendukung dan relevan. Pembahasan mengenai alat pembelajaran akan
disampaikan pada bagian khusus.
3) Prinsip
totalitas
Strategi pembelajaran yang dilakukan guru haruslah memungkinkan siswa
untuk memperoleh pengalaman objek maupun situasi secara utuh dapat terjadi
apabila guru mendorong siswa untuk melibatkan semua pengalaman penginderaannya
secara terpadu dalam memahami sebuah konsep. Dalam bahasa Bower (1986) gagasan
ini disebut sebagai multi sensory approach, yaitu penggunaan
semua alat indera yang masih berfungsi secara menyeluruh mengenai suatu objek.
Untuk mendapatkan gambaran mengenai burung, anak tunanetra harus melibatkan
perabaan untuk mengenai ukuran bentuk, sifat permukaan, kehangatan. Dia juga
harus memanfaatkan pendengarannya untuk mengenali suara burung dan bahkan
mungkin juga penciumannya agar mengenali bau khas burung. Pengalaman anak
mengenai burung akan menjadi lebih luas dan menyeluruh dibandingkan dengan anak
yang hanya menggunakan satu inderanya dalam mengamati burung tersebut.
Hilangnya penglihatan pada anak tunanetra menyebabkan dirinya menjadi sulit
untuk mendapatkan gambaran yang utuh/menyeluruh mengenai objek-objek yang tidak
bisa diamati secara seretak (suatu situasi atau benda berukuran besar). Oleh
sebab itu, perabaan dengan beberapa tekhnik penggunaannya menjadi sangatlah
penting.
4) Prinsip
aktivitas mandiri (selfactivity)
Strategi pembelajaran haruslah memungkinkan atau mendorong anak tunanetra
belajar secara aktif dan mandiri. Anak belajar mencari dan menemukan, sementara
guru adalah fasilitator yang membantu memudahkan siswa untuk belajar dan
motivator yang membangkitkan keinginannya untuk belajar. Prinsip ini pun
mengisyaratkan bahwa strategi pembelajaran harus memungkinkan siswa untuk
bekerja dan mengalami, bukan mendengar dan mencatat. Keharusan ini memiliki
implikasi terhadap perlunya siswa mengetahui, menguasai, dan menjalani proses
dalam memperoleh fakta atau konsep. Isi pelajaran (fakta, konsep) adalah
penting bagi anak, tetapi akan lebih penting lagi bila anak menguasai dan
mengalami guna mendapatkan isi pelajaran tersebut.
F.
Pola
Pembelajaran bagi Penyandang Tuna Netra
Permasalahan pembelajaran dalam pendidikan
tunanetra adalah masalah penyesuaian. Penyelenggaraan pendidikan dan
pembelajaran pada anak tunanetra lebih banyak berorientasi pada pendidikan
umum, terutama menyangkut tujuan dan muatan kurikulum. Dalam strategi
pembelajaran, tugas guru adalah mencermati setiap bagian dari kurikulum, mana
yang bisa disampaikan secara utuh tanpa harus mengalami perubahan, mana yang
harus dimodifikasi, dan mana yang harus dihilangkan sama sekali.
SUMBER
Astati, dkk. 2007. Pengantar Pendidkan Luar Biasa. Jakarta:
Universitas Terbuka.
Budi, Antika Onny.
2008. Pendidikan Tunanetra. Bandung:
Refika Aditama.
Efendi, Muhammad. 2006.
Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan.
Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Surtikanti,
Ilham Sunaryo. 2011. Pendidikan
Berkebutuhan khusus (Inklusif). Surakarta: UMS.
Wibowo, Sakti. 2012. Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus. (http://saktiwibowo.blogspot.co.id)
Diakses pada tanggal 17 September 2012.