A.
PENGERTIAN
TUNARUNGU & GANGGUAN PENDENGARAN
Anak tuna rungu/ gangguan pendengaran
adalah anak yang karena berbagai hal menjadikan pendengarannya mendapatkan
gangguan atau mengalami kerusakan sehingga sangat mengganggu aktifitas
kehidupannya, (Edja Sadjaah, 2005). Selanjutnya Greg Leigh (1994) menemukakan
bahwa anak tuli pada umumnya menderita ketidakmampuan berkomunikasi lisan
(bicara). Biasanya akibat kekurangannya tersebut akan membawa dampak yaitu
terhambatnya perkembangan kemampuan berbahasa, sehingga dapat berpengaruh
terhadap masalah bahasa dan komunikasi pada diri.
Menilik dari kurun terjadinya
ketunarunguan, Krik (1970) mengemukakan bahwa anak yang lahir dengan kelainan
pendengaran atau kehilangan pendengarannya pada masa kanak-kanak sebelum bahasa
dan bicaranya terbentuk, kondisi anak yang demikian disebut anak tuna rungu pre-lingual. Jenjang ketunarunguan yang
dibawa sejak lahir, atau diperoleh pada masa kanak sebelum bahasa dan bicaranya
terbentuk, ada kecenderungan termasuk dalam kategori tuna rungu berat.
Sedangkan anak lahir dengan pendengaran normal, namun setelah mencapai usia di
mana anak sudah memahami suatu percakapan tiba-tiba mengalami kehilangan
ketajaman pendengaran, kondisi anak yang demikian disebut anak tunarungu post-lingual. Jenjang ketunarunguan yang
diperolah setelah anak memahami percakapan atau bahasa dan bicaranya sudah
terbentuk, ada kecenderungan termasuk dalam kategori sedang atau ringan.
Kelainan pendengaran atau tunarungu
dalam percakapan sehari-hari di masyarakat awam sering diasumsikan sebagai
orang tidak mendengar sama sekali atau tuli. Hal ini didasarkan pada anggapan
bahwa kelainan dalam aspek pendengaran dapat mengurangi fungsi pendengaran.
Namun demikian, perlu dipahami bahwa kelainan pendengaran dilihat dari derajat
ketajamannya untuk mendengar dapat dikelompokkan dalam beberapa jenjang.
Asumsinya, makin berat kelainan pendengaran berarti semakin besar intensitas
kekurangan ketajaman pendengarannya (hearing
loss).
B.
KLASIFIKASI
ANAK TUNARUNGU
Ditinjau dari kepentingan tujuan
pendidikannya, secara terinci anak tunarungu dapat dikelompokkan menjadi
sebagai berikut :
1. Anak
tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 20-30 dB (slight losses).
Ciri-ciri :
a. Kemampuan
mendengar masih baik karena berada di garis batas antara pendengaran normal dan
kekurangan pendengaran taraf ringan.
b. Tidak
mengalami kesulitan memahami pembicaraan dan dapat mengikuti sekolah biasa
dengan syarat tempat duduknya perlu diperhatikan, terutama harus dekat guru.
c. Dapat
belajar bicara secara efektif dengan melalui kemampuan pendengarannya.
d. Perlu
diperhatikan kekayaan perbendaharaan bahasanya supaya perkembangan bicara dan
bahasanya tidak terhambat.
e. Disarankan
yang bersangkutan menggunakan alat bantu dengar untuk meningkatan ketajaman
daya pendengarannya. Untuk kepentingan pendidikannya pada anak tunarungu
kelompok ini cukup hanya memerlukan latihan membaca bibir untuk pemahaman
percakapan.
2. Anak
tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 30-40 dB (mild losses).
Ciri-ciri :
a. Dapat
mengerti percakapan biasa pada jarak sangat dekat.
b. Tidak
mengalami kesulitan untuk mengekspresikan isi hatinya.
c. Tidak
dapat menangkap suatu percakapan yang lemah.
d. Kesulitan
menangkap isi pembicaraan dari lawan bicaranya, jika berada pada posisi tidak
searah dengan pandangannya (berhadapan).
e. Untuk
menghindari kesulitan bicara perlu mendapatkan bimbingan yang baik dan
intensif.
f. Ada
kemungkinan dapat mengikuti sekolah biasa, namun untuk kelas-kelas permulaan
sebaiknya dimasukkan dalam kelas khusus.
g. Disarankan
menggunakan alat bantu dengar (hearing
aid) untuk menambah ketajaman daya pendengarannya. Kebutuhan layanan
pendidikan untuk anak tunarungu kelompok ini yaitu membaca bibir, latihan
pendengaran, latihan bicara, artikulasi, serta latihan kosakata.
3. Anak
tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 40-60 dB (moderate losses).
Ciri-ciri :
a. Dapat
mengerti percakapan keras pada jarak dekat, kira-kira satu meter, sebab ia
kesulitan menangkap percakapan pada jarak normal.
b. Sering
terjadi mis-understanding terhadap lawan bicaranya, jika ia diajak bicara.
c. Penyandang
tunarungu kelompok ini mengalami kelainan bicara, terutama pada huruf konsonan.
d. Kesulitan
menggunakan bahasa dengan benar dalam percakapan.
e. Perbendaharaan
kosakatanya sangat terbatas.
4. Anak
tunarungu yang kehilangan pendengarannya antara 60-75 dB (severe losses).
Ciri-ciri :
a. Kesulitan
membedakan suara.
b. Tidak
memiliki kesadaran bahwa benda-benda yang ada disekitarnya memiliki getaran
suara.
5. Anak
tuna rungu yang kehilangan pendengaran 75 dB ke atas (profoundly losses).
Ditinjau dari lokasi terjadinya
ketunarunguan, klasifikasi anak tunarungu dapat dikelompokkan menjadi sebagi
berikut :
1. Tunarungu
Konduktif
2. Tunarungu
Perseptif
3. Tunarungu
Campuran
C. PENCEGAHAN INSIDEN
KETUNARUNGUAN
Untuk meminimalkan insiden ketunarunguan pada
anak-anak, upaya yang bersifat preventif akan lebih baik. Hal ini dimaksudkan
menghindari keadaan yang lebih buruk lagi, disamping sebagai bantuan supaya
anak-anak kita tidak mengalami ketunarunguan menurut kurun wakunya upaya-upaya
pencegahan dapat dilakukan sebagai berikut :
1. Masa
Persiapan yaitu sebelum kedua insan melakukan perkawinan .
a. Calon
suami istri hendaknya memeriksakan kesehatan dirinya hal ini dimaksudkan kalau
diantara keduanya terdapat atau menderita suatu penyakit atau kelainan lainnya.
Misalnya penyakit syphilis, tuber colosis, sehingga perlu pengobatan selekas
mungkin , sebab penyakit-penyakit tersebut besar kemunginannya berpengaruh
terhadap bayi yang bakal di kandung .
b. Senantiasa
menjaga diri agar terhindar dari penyakit-penyakit terutama yang bersifat
hereditif.
c. Menjaga
diri agar tidak terkena infeksi yang sangat membahayakan.
2. Masa
prenatal, yaitu masa ketika bayi masih berada di dalam kandungan .
Hal-hal yang perlu diperhatikan :
a. Menjaga
supaya ibu yang mengandung tetap mendapat vitamin yang cukup dan makanan yang
mempunyai gizi yang tinggi.
b. Selama
mengandung secara ibu harus rajin periodik memeriksakan diri ke Balai
Kesejahteraan Ibu dan Anak ( BKIA ), atau ke klinik bersalin.
c. Jika
terjadi kelainan-kelainan dalam kandungannya , maka secepatnya memeriksakan
diri ke dokter ahi kandungan sebab jika placenta rusak dapat mengakibatkan
ketunarunguan pada anak.
d. Kesehatan
ibu dijaga agar tidak terjadi lahir sebelum tiba waktunya (prematur).
e. Suasana
emosi ibu yang sedang mengandung harus selalu baik, tidak gelisah, tertekan,
tegang, atau kurang stabil sebab keadaan emosi yang negatif kemungkinan dapat
berakibat lahir prematur.
f. Ibu yang
sedang mengandung sebaiknya menghindarkan diri pekerjaan-pekerjaan yang berat,
karena hal ini dapat menyebabkan letak kandungan tidak normal.
g. Selama
ibu mengandung hendaknya tidak minum obat-obat antibiotika yang dapat
membahayakan kandungan.
h. Menjaga
diri ibu selama mengandung agar tidak terserang penyakit.
i.
Menjaga diri supaya tidak
keracunan darah yang dapat merusakkan jaringan organ pendengaran.
3. Masa
natal, yaitu masa bayi dalam proses lahir.
Hal-hal
yang perlu diperhatikan pada masa natal adalah sebagai berikut :
a. Sedapat
mungkin dalam proses lahir dihindarkan penggunaan tang (forceps), karena lahir
dengan bantuan yang terdapat kemungkinan dapat merusak sentral saraf
pendengaran.
b. Dalam
proses lahir seyogyanya selalu dalam pengawasan dokter, sehingga jika terjadi
kelainan dan kesukaran dalam melahirkan, secara cepat dapat diberikan
pertolongan, menghindari kelainan yang menyebabkan ketunarunguan.
c. Ibu yang
melahirkan sebaiknya mematuhi petunjuk dokter supaya tidak terjadi kesukaran
dalam proses lahir yang sering juga menyebabkan anaxia.
4. Masa
Posnatal, yaitu masa setelah bayi dilahirkan.
Hal-hal
yang perlu diperhatikan pada masa setelah bayi dilahirkan antara lain :
a. Penjagaan
kesehatan, kebersihan dan keamanan pada masa bayi dan kanak-kanak adalah sangat
penting untuk mencegah timbulnya infeksi pada organ pendengaran dan rongga
mulut.
b. Pada
waktu anak sakit, temperaturnya dijaga agar tidak terus menggigil, sebab hal
itu dapa berakibat pada kelemahan saraf dengar.
c. Mengadakan
pengawasan terhadap makanan anak, agar terhindarkan diri dari keracunan darah
yang dapat merusakkan atau menghambat pertumbuhannya.
d. Mengadakan
pengawasan agar anak-anak tidak bermain dengan permainan yang dapat
membahayakan kondisi dirinya, misalnya menyebabkan gagar otak, infeksi otak dan
lain-lain yang dapat merusakkan fungsi organ-organ pendengaran.
D.
DAMPAK
KETUNARUNGUAN
Anak yang mengelami kelainan pendengaran akan
menanggung konsekuensi yang sangat kompleks, terutama berkaitan dengan masalah
kejiwaanya. Pada diri penderita seringkali dihinggapi rasa keguncangan sebagai
akibat tidak mampu mengontrol lingkungannya. Kondisi ini semakin tidak menguntungkan
bagi penderita tunarungu yang harus berjuang dalam meniti tugas
perkembangannya. Disebabkan rentetan yang muncul akibat gangguan pendengaran
ini, penderita akan mengalami berbagai hambatan dalam meniti perkembangannya,
terutama dalam aspek bahasa, keceerdasan, dan penyesuaian sosial. Oleh karena
itu, untuk mengembangkan potensi anak tunarungu secara optimal praktis
memerlukan layanan atau bantuan secara khusus.
Proses internalisasi suara pada sesorang yang
mengalami ketunarunguan mengalami masalah, sebab organ pendengaran di bagian
luar, bagian tengah dan bagian dalam yang mengubungkan ke saraf pendengaran
sebagai organ terakhir dari rangkaian proses pendengaran mengalami gangguan.
Terganggunya organ ini berpengaruh terhadap kepekaan penerima suara. Variasi
kepekaan menerima suara berupa kepekaan suara nada rendah dan tinggi.
Ada dua bagian penting mengikuti dampak
terjadinya hambatan, antara lain :
1. Konsekuensi
akibat gangguan pendengaran atau tuarungu tersebut bahwa penderitanya akan
mengalami kesulitan dalam menerima segala macam rangsang atau peristiwa bunyi
yang ada di sekitarnya.
2. Akibat
kesulitan menerima rangsang bunyi tersebut konsekuensinya penderita tunarungu
akan mengalami kesulitan pla dalam memproduksi suara atau bunyi bahasa yang
terdapat disekitarnya.
Sebagaimana yang diketahui, peranan bahasa,
bicara, pendengaran dalam konteks komunikasi kehidupan sehari-hari merupakan
tiga serangkai potensi manusia yang mampu menjembatani proses momunikasi, sebab
ketiga unsur tersebu dalam proses komunikasi masing-masing dapat menjadi
pengontrol efektif dan tidaknya sebuah komunikasi. Oleh sebab itu, kepincangan
salah satu komponen komunikasi tersebut berarti kehilangan kontributor besar yang
dapat membantumanusia dalam meniti fase tugas perkembangannya.
Banyak anggapan bahwa anak berkelainan
pendengaran atau anak tunarungu diantara penderita kelainan yang lain dianggap
paling ringan , sebab terganggunya hanya terjadi pada aspek pendengaran. Penderita
tunarungu seringan apapun kondisinya tetap tidak luput dari problem
yangmenyertainya terutama yang berkaitan dengan masalah kemampuan fisiknya yang
lain, kejiwaan, dan penyesuaian sosial dengan lingkungannya.
E.
FUNGSI
PENGLIHATAN ANAK TUNARUNGU
Para pakar mengakui bahwa pendengaran dan
penglihatan merupakan indra manusia yang amat penting. Begitu besar fungsi
kedua indra tersebut dalam membantu aktifitas manusia, sehingga banyak orang
yang menyandingkan kedua indra tersebut sebagai dwitunggal. akibatnya, jika
seseorang kehilangan salah satu diantarannya maka sama artinya ia harus
kehilangan sesuatu yang sangat berarti dalam hidupnya. untuk menggantinya dapat
dialihkan pada indra penglihatan sebagai kompensasinya.
Apapun keistimewaan yang dimiliki oleh kedua
idra tersebut sebagai indra terdepan manusia, namun tetap saja keduanya
memiliki keterbatasan tertentu sesuia karakteristiknya. Penglihatan mempunyai
karakteristik jangkauannya terpusat pada bidang di mukanya, di batasi oleh
ruang sosial, bersifat statis, dan menetap. Sedangkan pendengaran
karakteristiknya dapat menjangkau segala arah, bersifat temporal, tidak di
batasi oleh ruang.
Khusus kelebihan yang lain dari indra
pendengaran berdasar karakteristiknya, bahwa indra ini merupakan satu-satunya
indra yang mengatur apa-apa yang dimengerti dari lingkunganya kepada sisten
saraf sehingga dalam keadaan tidurpun indra pendengaran masih berfungsi.
Pendengaran sering pula disebut sebagai indra latar belakang, karena
pendengaran seseorang dapat meramalkan sesuatu yang belum tampak wujudnya. Oleh
sebab itu, jika melalui suara menunjukkan tanda-tanda yang dapat membahayakan,
misalnya kentongan, tanda bahaya, pohon tumbang dan lain sebagaianya maka
seseorang dapat bersiap-sipa untuk menyelamatkan diri.
Kondisi ketunarunguan yang dialami oleh
seseorang mendorong yang bersangkutan untuk mencari kompensasinya. Mata sebagai
sarana yang berfungsi sebagai indra penglihatanmerupakan alternatif yang utama
sebelum yang lainnya, peranan penglihatan, selain sebagai sarana memperoleh
pengalaam persepsi visual, sekaligus sebagai ganti persepsi auditif anak
tunarungu. Dapat dikatakan bahwa hilangnya ketajaman bagi anak tunarungu akan
memnuat dirinya sangat tergantung pada indra penglihatanya.
Akibat dari kondisi ketunarunguan dapat
berpengaruh terhadap perkembangan bahasa, kondisi kecerdasan, serta sosio
emosionalnya. Kondisi ini sekaligus merupakan ciri khas yang dimiliki oleh anak
tunarungu. Pada umumnya Sanders (1980) menyimpulkan bahwa sifat khas yang
tampak pada anak tunarungu yakni adanya keragu-raguan dalam melakukan tindakan
dan menarik kesimpulan sehingga kondisi ini akan berpengaruh juga pada
perubahan perlakuannya.
Silvernoon (1967) berpendapat bahwa anak
tunarungu yang kemampuannya terbatas akan memperlihatkan banyak sekali
keterlambatan dalam menguasai beberapa atau lebih konsep-konsep abstrak,
akibatnya akan berpengaruh terhadap kemampuan sosial emosionalnya.
F.
KEMAMPUAN
BAHASA DAN BICARA ANAK TUNARUNGU
Terdapat kecenderungan bahwa seorang anak yang
mengalami tunarungu seringkali diikuti dengan tunawicara. Kondisi ini
tampaknnya sulit dihindari, karena keduannya saling dapat menjadi satu
rangkaian sebab akibat. Namun, tidak demikian halnya dengan tunawicara, tidak
dtemukan rangkaian langsung dengan kondisi tunarungu. Kasus-kasus seperti
penderita stuttering (gagap) dan cluttering (kekacauan artikulasi). Adalah
contoh kelainan yang kemungkinan kecil berkaitan dengan kondisi tunarungu.
Ada dua hal penting yang menjadi ciri khas
hambatan anak tunarungu dalam aspek kebahasanya. Pertama, konsekuensi pada
penderita tunarungu berdampak pada kesulitan dalam menerima rangsang bunyi atau
peristiwa bunyi. Kedua, akibat keterbatasannya dalam menerima rangsang bunyi
pada anak akan mengalami kesulitan dalam memproduksi suara atau bunyi. Kedua
kondisi tersebut secara langsung menghambat kelancaran perkembangan bahasa dan
bicara.
Anak yang mengalami tunarungu sejak lahir sulit
melewati fase-fase perkembangan bahasa dan bicara seperti anak normal. Pada
ketunarunguan sejak lahir ketika meniti fase pertama perkembangan bahasa dan
bicara barangkali tidak mengalami kesulitan karena pada fase ini anak hanya
merefleksi suara yang tidak terartur dan hanya menanngis saja. Namun, untuk
fase selanjutnya yakni fase babbling (merabaan) perkembangan bahasa dan bicara
anak akan terhambat. Kekhasan fase ini, anak akan meluapkan rasa puas dengan
variasi suara yang tidak jelas. Fase ini berlangsung hingga 6 bulan.
Terhambatnya perkembangan bahasa dan bicara
anak tunarungu jelas merupakan masalah utama, karena perkembangan bahasa
mempunyai peranan penting. Perkembangan bahasa dan bicara digunakan untuk
memahami konsep-konsep dan tentang peristiwa benda. Itu karena anak tunarungu
mengalami kesulitan dalam menerima rangsang suara. Sehingga terganggu dengan rangsang
suara yang diterima.
Beda halnya dengan anak normal, anak tunarungu
segala sesuatu yang terekam di otak melalui persepsi visual seperti melihat
film bisu. Sebab, anak tunarungu hanya mrnangkap peristiwa dari melihat dan tidak lebih dari itu. Atas dasar
itu rata-rata anak tunarungu dari aspek kebahasaanya tampak :
1. Miskin
kosakata
2. Sulit
mengartikan unkapan bahasa yang mengandung arti kiasan
3. Sulit
mengartikan dengan kata-kata abstrak, seperti Tuhan, Pandai, Mustahil dan
lainnya.
4. Kesulitan
menguasai irama dan gaya bahasa.
Quiqley (1978) pernah mengadakan penelitian
tentang penafsiran bahasa anak tunarungu yang berusia 4 tahun. Ia berusaha
mengajarkan dengan pola susunan subyek, predikat, dan objek dalam suatu
kalimat. Dapat dimengerti anak tunarungu
memiliki kterbatasan dalam mengitrepestasikan kalimat. Karena anak
mengitrepetasikan hanya bersadar pada pengalaman bahasa yang terbatas. Oleh
karena itu, semakin bertambahnya usia semakin serius permasalahan yang dihadapi
terutama bahasa dan bicara.
Ada beberapa factor yang menyebabkan anak
tunarungu mengalami gangguan kemampuan bicara :
1. Anak
tunarungu mengalami kesulitan dalam penyesuaian volume suara.
2. Anak
tunarungu memiliki kualitas suara yang monoton
3. Anak
tunarungu mengalami kesulitan dalam melakukan artikulasi bicara secara tepat.
Memperhatikan keterbatasan bahasa dan bicara
anak tunarungu, maka sejak masuk sekolah awal kemampuan bahasa dan bicara
sebagai prioritas pertama. Pendekatan yang lazim untuk meningkatkan kemampuan
bahasa dan bicara dengan oral dan isyarat. Selama decade pendekatan ini
dugunakan secara controversial, sebab masing-masing institusi mempunyai dasar
filosofi yang berbeda.
Sejak tahun 1960-an mulai diperkenalkan
kombinasi kedua pendekata tersebut. Dari penelitian yang dilakukan oleh
beberapa ahli dengan kombinasi ini meningkatkan pencapaian pendidikan umum
(Stevenson 1964), kemampuan membaca ujaran (Stuckless dan Birch, 1966) dan
kematangan menulis dan kematangan social (Meadow, 1968). Kemampuan
mengungkapkan dalam berbicara menjadi rata-rata 66% (Mulyana, 1993). Demikian
dengan membaca efektif akan lebih berkembang daripada anak tunarungu yang
dididik menggunakan metide oral (Asikin, 1995).
G.
KARAKTERISTIK
KECERDASAN ANAK TUNARUNGU
Kecerdasan seseorang sering dihubungkan dengan
prestasi akademis sehingga orientasi akademis tertentu yang dicapai seseorang
merupakan gamaran riil kecerdasan. Gambaran tentang tingkat kecerdasan sendiri
secara spesifik hanya dapat diketahui melalui tes kecerdasan. Sebenarnya
distribusi kecerdasan anak tunarungu tidak berbeda dengan anak normal. Hal ini
disebabkan anak tunarungu ada yang superior, rata-rata dan subnormal. Namun,
untuk menggambarkan secara riil keragaman kecerdasan anak tunarungu sering kali
mengalami kesulitan. Untuk mengetahui kecerdasannya memerlukan cara yang agak
berbeda dibandingkan dengan anak normal.
Telah disinggung pada bagian sebelumnya,
kehilangan pendengaran yang dialami oleh anak tunarungu berdampak pada
kemiskinan kosakata, kesulitan berbahasa dan berkomunikasi. Efeknya dapat
menyebabkan perbedaan sangat signifikan tentang apa yang dapat dilakukan dan
yang dapat dilakukan oleh anak tunarungu dengan anak normal. Tanpa
memperhatikan kenyataan ini, jelas akan mengakibatkan kekeliruan dalam
mengambil kesimpulan tentang kondisi kecerdasan anak tunarungu. Atas dasar
itulah, dalam menyajikan perangkat tes apapun terhadap anak tunarungu,
hendaknya mempergunakan perintah-perintah yang akurat dan sudah dipahami anak
tunarungu. Hal ini disebabkan tidak mustahil kekeliruan seorang tester dalam
menyampaikan perintah tes kepada anak tunarungu berdampak pada kesesatan
interprestasi terhadap kondisi kecerdasan anak tunarungu yang sebenarnya.
Cruickshank (1980) mengemukakan bahwa anak
tunarungu seringkali memperlihatkan keterlambatan dalam belajar dan
kadang-kadang tampak terbelakang. Kondisi ini tidak hanya disebabkan oleh
derajat gangguan kecenderungan yang dialami oleh banyak anak, melainkan juga
tergantung kepada kecerdasan yang dimilikinya. Rangsangan mental serta dorongan
dari lingkungan sekitar dapat memberikan kesempatan bagi anak tunarungu untuk
mengembangkan kecerdasannya. Pintner, seorang psikologi yang bekerja pada
lembaga pendidikan anak tunarungu mengemukakan bahwa anak tunarungu hanya dapat
menunjukan kemampuan dalam bidang motorik dan mekanik, serta intelegensi
konkret, tetapi memiliki keterbatasan dalam intelegensi verbal dan kemampuan
akademik (Siregar, 1981)
Berdasarkan hasil kajian Pusat Studi Demografi
Universitas Gallaudet (universitas yang sebagian besar penderita tunarungu) yang
berkedudukan di Amerika Serikat. Setiap tahun menyelenggarakan tes prestasi
Stanford bagi anak tunarungu. Dapat disimpulkan bahwa anak tunarungu berusia 10
tahun memiliki kemampuan setingkat dengan anak kelas 2 dalam membaca dan
berhitung. Sedangkan anak tunarungu berusia 17 tahun memiliki kemampuan
setingkat dengan anak kelas IV dalam hal berhitung. Masih menggunakan tes yang.
(gentile, 1972)
Jemsema (1975) mencatat bahwa anak tunarungu
yang memasuki periode 10 tahun dari usia 8-10 tahun, rata-rata yang mengalami
penambahan kosakata sebanyak pada murid-murid normal yang pendengarannya antara
permulaan taman kanak-kanak hingga akhir kelas 2. Pada bagian lain ditemukan
bahwa usia terjadinya tunarungu dan tingkat keparahan memainkan peranan penting
dalam mencapai prestasi siswa. Prestasi anak yang mengalami tunarungu pada usia
3 tahun akan lebih tinggi dari anak yang mengalami ketunarunguan lebih awal,
dan anak yang memiliki taraf ketunarunguan kategori ringan memiliki prestasi
lebih besar.
Fruth dalam penelitian dengan memberikan tes
kepada anak tunarungu untuk mengetahui kemampuannya dalam memahami :
1. Konsep
klasifikasi yaitu menyimpulkan benda-benda yang sama
2. Konsep
servasi yaitu menyusun benda-benda dari segi bentuk dan ukurannya
3. Konsep
observasi yaitu pengertian bahwa berat dan isi dari benda cair sifatnya tetap.
Hasilnya menunjukan bahwa dalam hal ini
kemampuan anak tunarungu dengan anak normal sama. Menurut Fruth, kemampuan
kognitif anak tunarungu tidak mengalami hambatan kecuali konsep yang tergantung
pada pengalaman bahasa. Selain itu, akibat yang ditimbulkan oleh kelainan
pendengaran adalah kelemahan mengidentifikasi ucapan yang diterimanya sebab
speech intelegency dan speech comprehensive anak tunarungu tidak berfungsi
secara penuh. Factor lain yang menyebabkan terjadinnya perbedaan dalam hasil
penelitian yang dilakukan para ahli seperti yang telah diuraikan di atas
terletak pada :
1. Perangkat
tes yang digunakan
2. Testernya
Pada umumnya tes yang digunakan untuk mengukur
kecerdasan atau kepribadian anak tunarungu memang tidak dibuat secara khusus.
Tes yang digunakan seringkali susah diterima oleh anak tunarungu. Akibatnya
dapat mempengaruhi hasil tes serta tidak memberi gambaran yang tepat.
Atas dasar itulah tes yang dgunakan untuk anak
tunarungu dibuat dalam bentuk perfomance test,
misalnya form board tes, picture complication, block design dan
lain-lainnya. Demikian seorang seperti CPM (colour progressive matriks), WISC
(wescbler intelegence scale for children) dan lain-lain yang juga dapat digunakan
untuk anak normal dengan beberapa modifikasi. Namun, saat ini telah diciptakan
tes kecerdasan untuk anak tunarungu seperti Snijders Oumen Non-verbal test
(SON) dan World intelligibility picture identifikacion (Sander, 1980).
H.
PENYESUAIAN
SOSIAL ANAK TUNARUNGU
Salah satu modal utama untuk melakukan proses
penyesuaian adalah kepribadian. Kepribadian pada dasarnya keseluruhan sifat dan
sikap seseorang yang akan menentukan cara-cara unik dalam menyesuaikan diri
dengan lingkungannya. Oleh Karena itu untuk mengetahui kepribadian seorang anak
harus melihat bagaimana proses penyesuainnya dengan lingkungan.
Kepribadian seorang anak tunarungu juga
dipengaruhi bagaimana penyesuain anak terhadap lingkungan, lingkungan yang
pertama adalah keluarga. Oleh karena itu, harmonis tidaknya perkembangan social
dan kepribadian seorang anak tergantung pada proses komunikasi yang terjalin
antara anak dengan keluarga dan masarakat sekitar.
Salah satu perangkat pengukuran berupa sekala
yang dgunakan untuk mengukur kematangan social anak tunarungu yaitu The
Veneland Sosial maturity Test. Dari penelitian dengan sekala ini menunjukan
bahwa :
1. Anak
tunarungu tingkat kematanganya sosialnya berada di bawah tingkatan kematangan
social anak normal.
2. Anak
tunarungu dari orang tua yang tunarungu juga menunjukan relative matang dari
pada anak tunarungu dari orang tua normal.
3. Anak
tunarungu yang dari residential school ( sekolah berasrama ) menunjukan social
immaturity.
Berdasarkan kesulitan dalam berbahasa dan
berbicara sehingga memungkinkan kesulitan juga dalam berkomunikasi. Oleh karena
itu, anak tunarungu sering kali tampak frustasi, akibatnya sering menampakan
sikap asocial, bermusuhan, atau menarik diri dari lingkungannya. Keadaan ini
semakin tidak menguntungkan jika terdapat tekanan dari lingkungan sekitar yang
kurang mendukung, yang berupa cemoohan, ejekan, dan bentuk penolakan lainnya.
Siregar (1981) berpendapat untuk mencapai
kematangan social anak tunarungu setidaknya memiliki :
1. Pengetahuan
yang cukup mengenai nilai-nilai social dan kebiasaan masyarakat
2. Mempunyai
kesempatan yang banyak untuk menerapkan pengetahuan tersebut
3. Cukup
mendapat kesempatan mengalami berbagai macam bentuk hubungan social.
4. Mempunyai
dorongan untuk mencari pengalaman di atas.
5. Struktus
kejiwaaan yang sehat dapat mendorong motivasi yang baik.
Hal-hal di atas juga bias berlaku bagi anak
yang normal. Derajat kematangan yang dicapai seorang memang sangat dipengaruhi
oleh beberapa factor antara lain pengalaman hidup di tahun-tahun pertama
kehidupannya, yakni komunikasi anak dengan orang tua.
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan
secara terus menerus, Van Uden berhasil mencatat beberapa sifat kepribadian
anak tunarungu yang berbeda dengan anak normal, antara lain :
1. Anak
tunarungu lebih egosentris
2. Anak
tunarungu lebih tergantung pada oranglain dan apa-apa yang sudah dikenal.
3. Perhatian
anak tunarungu lebih sukar dialihkan
4. Anak
tunarungu lebih memperhatikan yang kongkret
5. Anak
tunarungu lebih miskin dan fantasi.
6. Anak
tunarungu biasanya lebih polos, sederhana, tanpa banyak masalah
7. Perasaan
anak tunarungu cenderung dalam keadaan ekstrem tanpa banyak nuansa.
8. Anak
tunarungu lebih mudah marah dan mudah tersinggung.
9. Anak
tunarungu kurang mempunyai konsep tentang hubungan.
10. Anak
tunarungu mempunyai perasaan takut akan hidup yang lebih besar.
Dengan memahami karakteristik kepribadian anak
tunarungu secara spesifik dalam kaitanya dengan proses penyesuaian social. Maka
harus mengeliminasi masalah-masalah yang menghambat penyesuaiaan social anak
tunarungu. Masalah penyesuaian social anak berkelainan pendengaran memang tidak
lepas dari intervensi dan diagnosis. Semakin dini diketahui letak kelainan maka
akan lebih baik pelaksanaan intervensinnya.
Habilitasi anak tunarungu yang diketahui sejak
lahir, dimaksudkan untuk mengembangkan srategi apa yang diperlukan untuk
belajar anak, komunakasi dan penyesuaian. Orang tua yang mengetahui kelainan
pendengaran hal pertama yang dilakukan adalah menyesuaikan secara cepat apa
yang harus dilakukan, agar dapat berbuat lebih banyak untuk kepentingan anak.
Hal yang lebih penting dari itu, perlu diantisipasi presepsi-presepsi baru yang
muncul dari adik, kakak, dan saudara sebab persepsi tersebut secara langsung
maupun tidak langsung sangat berpengaruh terhadap pemenuhan perkembangan
potensi anak tunarungu dalam penyesuaian social.
I. KARAKTERISTIK
DAN PERMASALAHAN ANAK TUNARUNGU
Seseorang dikatakan tunarungu bila seseorang
itu tidak memiliki atau masih memiliki sisa pendengaran sedemikian rendahnya
sehingga tidak dapat berfungsi untuk kehidupan sehari-hari sebagaimana pada
umumnya baik dengan atau menggunakan alat bantu mendengar.
Masalah anak tunarungu tidak dapat dipisahkan
dengan anak tunawicara. Karena secara factual antara keduanya ini sulit untuk
dideteksi dalam waktu singkat, meskipun yang selalu dapat dilihat itu
ketidakmampuannya dalam berkomunikasi.
Karena kompleksnya individu ini, maka didalam
usaha untuk mengenal dan mengidentifikasikannya perlu adanya kemampuan untuk
mengetahui beberapa karakteristik tertentu yang dimilikinya.
1. Karakteristik
Fisik, meliputi:
a.
Cara berjalannya kaku dan
agak membungkuk karena daya keseimbangannya terganggu.
b.
Gerakan kaki dan tangannya
lincah/ cepat sebaba sering digunakan untuk berkomunikasi dengan lingkungannya
sebagai pengganti bahasa lisannya.
c.
Gerakan matanya cepat dan
bringas, apabila organ ini tidak dijaga dengan baik dapat berakibat kemampuan
melihat menurun karena selalu digunakan sebagai pengganti alat pendengarannya.
d.
Kemampuan pernafasannya pendek- pendek terganggu,
sehingga tidak mampu berbahasa dengan baik.
2. Karakteristik
fisik:
a. Biasanya iindividu yang tuli jugan mengalami
ketidakmampuan dalam berbahasa.
b. Tunarungu
yang sejak lahir dapat belajar berbicara dengan suara normal.
c. Anak
tunarungu miskin dalam kosa kata.
d. Dia
mengalami kesulitan di dalam mengartikan ungkapan- ungkapan bahasa yang
mengandung arti kiasan dan kata- kata abstark.
e. Dia
kuarang menguasai irama dan gaya bahasa.
f. Dia
mengalami kesulitan dalam berbahasa verbal dan pasif dalam berbahasa.
3. Karakteristik
fisik, meliputi:
a. Anak
tunarungu yang tidak berpendidikan cenderung murung, penuh curiga, curang,
kejam, tidak simpatik, tidak dapat dipercaya, cemburu, tidak wajar, egois,
ingin membalas dendam dsb.
b. Lingkungan
yang menyenangkan dan memanjakan dapat berpengaruh terhadap ketidakmampuan
dalam penyesuaian mental maupun emosi, dan
c. Anak
tunarungu menunjukan kondisi yang lebih neurotic, mengalami ketidakamanan, dan
berkepribadian tertutup (introvet).
4. Karakteristik
fisik, meliputi:
a. Suka
menafsirkan secara negative,
b. Kurang
mampu dalam mengendalikan emosinya dan sering emosinya bergejolak.
c. Memiliki
perasaan rendah diri dan merasa diasingkan, dan
d. Memiliki
rasa cemburu dan sak wasangka karena merasa tidak diperlukan dengan adil serta
sulit bergaul.
Masalah- masalah dapat di
golongkan menjadi :
1. Masalah
komunikasi.
Masalah ini adalah masalah yang pertama-tama di
alami mereka. Masala ini adalah masalah anak tunarungu yang paling kompleks,
karena dengan terbatasnya kemampuan berkomunikasi ternyata berakibat fatal bagi
kehidupannya.
Misalnya masalah-masalah karena masalah
komunikasI yaitu: tingkah laku yang ditandai dengan tekanan emosi, suka marah,
gelisah dan sebagainya, kesulitan dalam penyesuaian social, perkembangan bahasa
lalmbat dsb.
2. Masalah
pribadi
Masalah ini mencakup permasalahan yang
berkaitan dengan masalah kondisi pribadi anak tunarungu, dimana- mana masalah-
masalah berkisar pada perasaan tertekan, perasaan ragu-ragu dan selalu curiga,
agresif, dsb. Masalah ini muncul karena adanya keterbatasan auditif. Dan
disamping itu bila dilihat dari sumbernya dapat timbul dari dirinya sendiri,
lingkungan keluarga, taraf ketunaannya, dan dapat juga disebabkan dari kondisi
masyarakat yang kurang menguntungkan.
3. Masalah
pengajaran atau kesulitan belajar
Dengan kelainan tunarungu ternyata banyak
dilihat berbagai masalah yang timbul dalam proses belajar mengajar. Misalnya:
kesulitan menangakap kata-kata abstrak, terutama mengalami kesulitan belajar
bidang studi bahasa, metode yang tepat digunakan dalam proses belajar mengajar
dan srana yang sesuai utnuk kegiatan belajar mengajar.
4.
Masalah penggunaan waktu
terluang.
Anak tunarungu sering membuang waktu luangnya
denga sia-sia, tidak sedikitpun kegiatan yang berguna dilakukannya. Yang
menjadi maslah disini adalah kegiatan- kegiatan apa yang dapat dilakukan
sehingga waktu luangnya itu penuh manfaat. Kegiatan yang mungkin bisa dilakukan
kegiatan ekstrakulikuler, kerja kelompok, kerja bakti, dsb. Hal ini ditekankan
karena bila tidak diadakan tindakan preventif, dapat berakibat waktu luangnya
diisi dengan kegiatan- kegiatan yang sangat merugikan, misalnya: kenakalan
remaja/anak, mengganggu ketertiban, dsb.
5. Masalah
pembinaan ketrampilan dan pekerjaan.
Mengingat segi kognisi anak tunarungu atau
dengan kata lain kemampuan akademiknya terbatas/ terhambat didalam
pengembangannya, maka sebagai alternatif penggantinya di dalam mempersiapkan
diri anak tunarungu untuk masa depannya, Nampak perlu diadakan pembinaan
ketrampilan atau latihan kerja sehingga bila mereka keluar dari pendidikan
tidak mengalami kesulitan didalam mencari pekerjaan sebagai salah satu usaha
untuk menghadapi dirinya, sehingga tidak terlalu menggantungkan dirinya pada
orang lain.
J. JENIS
GANGGUAN PENDENGARAN
Jenis gangguan pendengaran dapat dilihat dari
keterkaitannya dengan berat atay ringannya suatu kondisi kerusakan alat dengar.
Kondisi kerusakan yang demikian memberikan gambaran sejauh mana alat
pendengarannya dapat berfungsi.
Iwin Suwarman (1981), pakar bidang medic,
memiliki pandangan bahwa anak tuna rungu dapat dikategorikan sebagai hard of
hearning dan the deaf. Istilah “the deaf” yang dikemukaan oleh akademik
otolangilorogi Amerika adalah terdiri dari dua kata yaitu: Hearing Impairment,
yang ditandai dengan ukuran dengar dari tuna rungu dapat dikategorikan sebagai
hard of hearning dan the deaf.
Hard of hearing adalah seseorang yang masih
memiliki sisa pendengaran sedemikian rupa sehingga masih cukup untuk digunakan
sebagai alat penangkap proses mendengar sebagai bekal primer penguasaan
kemahiran bahasa dan komunikasi dengan yang lain baik dengan maupun tanpa
menggunakan APM. Sedangkan the deaf, diartikan bahwa seseorang yang tidak
memiliki indra dengar sedemikian rendah sehingga tak mampu berfungsi sebagai
alat penguasaan bahasa dan komunikasi, baik dengan maupun tanpa menggunakan
alat bantu dengar.
Jenis-jenis rincian gangguanpendengaran adalah
sbb:
1. Not
significant, berada pada derajat 0 dB- 25 Db (ISO), kesulitan tak berarti atau
sedikit dalam berbicara.
2. Slight
Handicap, pada derajat 24- 40 db, mulai kesulitan berbahasa dan berbicara /
berkata-kata.
3. Mild
Handicap, pada derajat 40- 55 db, memahami percakapan pada jarjak 3-5 kaki atau
antara 90-150 cm secara berhadap-hadapan. Dapat melemah sebesar 50% daladm
pembelajaran di kelas. Apabila suara guru lelmah dan tidak segaris pandangan.
4. Mark
Handicap pada jarak 55-70 db, lemah dalam berbicara, lemah dalam penggunaan
bahasa dan percakapan serta terbatasnya perbendaharan kata, mengalami kesulitan
dalam grup diskusi, percakapan harus keras agar dapat dimengerti.
5. Severe
Handicap antara 70-90 db, dapat mendengar suara yang diperkeras pada jarak satu kaki (30 cm). lemah dalam
berbicara serta berbahasa semakin memburuk. Ketajaman penglihatan lebih baik
dari pada pendengarannya sebagai alat berkomunikasi. Lemah dalam berbicara dan
berbahasa bahkan semakin memburuk.
K. PENYEBAB
TERJADINYA GANGGUAN PENDENGARAN
Para pakar di bidang medis/kedokteran THT
menyebutkan : bahwa faktor penyebab anak menjadi tuli atau kurang pendengaran
adalah faktor-faktor eksogen yaitu didapat dari luar diri anak/bayi erat
kaitannya dengan saat terjadinya faktor penyebab tadi penyerang. Faktor eksogen
ini perlu perhatian dan dipertimbangkan sebagai penyebab gangguan, seperti:
a. Saat
prenatal
Disebabkan
pada waktu ibu hamil diserang penyakit morbili/ campak Jerman. Penyakit ini
merusak jaringan kulit sampai mengenai persyarafan disertai demam yang sangat
tinggi dalam waktu lama, sehingga mengganggu pertumbuhan dan pertumbuhan janin.
1) Terjadi
pendarahan (blooding) pada ibu hamil
2) Terjadi
kelahiran muda (prematur) atau bayi lahir kurang waktu
Terdapat juga kepustakaan yang membagi
kelainan/ penyebab cacat pendengaran dilihat dari letak (lokasi) kelainannya.
Terdapat dua kelompok inti (master) kelainan
pendengaran, yaitu:
1) Kelainan
yang terdapat pada daerah konduksi, maka akan terjadi cacat/gangguan
pendengaran konduktif
2) Kelainan
yang terdapat pada daerah persepsi, maka terdapat cacat/gangguan pendengaran
sensori neural.
Berdasarkan dua kelompok ini pula para ahli
kedokteran menganalisis penyebab yang lebih rinci dan spesifik lagi. Surinah
dkk (1989:2), membadi sebagai berikut:
1) Gangguan
yang didapat selama masa pertumbuhan/ Developmental
Defects meliputi:
a) Gangguan
pendengaran yang sifatnya sensori neural yang herediter anak menderita gangguan
pendengaran sensori neural deafness, yang terkena adalah perangkat syaraf
pendengaran yang sifatnya dominan herediter atau pembawa sifat (ressesive)
b) Gangguan
pendengaran herediter deafness, predominan conductive
c) Gangguan
pendengaran berat yang terjadi prenatal influences, oleh karena; ibunya
menderita penyakit Rubella pada waktu hamil, kelahiran yang injuries, akibat
minuman keras/narkoba, cretinism.
d) Penyakit
anomaly, yaitu terserangnya daerah luaran telingan bagian tengah, telinga
bagian dalam atau tulang sekitar pendengaran
e) Pertumbuhan
telinga yang tidak sempurna oleh karena menyerang chromosom (Trisonny
dysplasia)
b. Terjadi
infeksi
1. Infekso
bakteri; antara lain berakibat kerusakan pada selaput gendang telinga, otitis
media (congean) dan infeksi tulang pendengaran.
2. Terjadinya
infeksi alat keseimbangan di telinga dalam, otitis internal (telinga dalam) dan
lain-lain
3. Keracuan,
terjadi oleh karena ibu hamil meminum obat-obatan antibiotic dengan over dosis,
obat kimia terlalu banyak atau obat-obat penggugur kehamilan.
4. Traumatis,
terjadi akibat tusukan benda keras, atau akibat operasi tulang temporal,
kerusakan tulang-tulang pendengaran lainnya, atau kebisingan keras yang
mengganggu pendengaran dalam waktu lama.
5. Gangguan
circulasi, antara lain pecahnya pembuluh darah, dan terjadinya pendarahan pada
ibu hamil atau bayi.
6. Gangguan
persyarafan, antara lain sistem syaraf muka terganggu, diabetes yang menyerang
sistem syaraf pendengaran seta gangguan-gangguan lain di telinga bagian dalam.
7. Gangguan
pertumbuhan metabolisme dan karenadisebabkan oleh usia, bisa disebabkan oleh
diabetes, pengeroposan tulang pendengaran , dsb
8. Keganasan,
penyakit primary neoplasma dan other neoplastic disease.
9. Penyakit-penyakit
lain yang tidak diketahui penyebabnya antara lain Meniere Desiase dan Sudden
Deafness, dsb
L.
PERKEMBANGAN
KOGNITIF ANAK TUNARUNGU
Kehilangan pendengaran yang dialami anak
tunarungu membuat ia kesulitan berkomunikasi yang berdampak kemiskinan
kosakata, kesulitan berbahasa, kurang menguasai irama dan gaya bahasa.
Anak tunarungu cenderung memiliki prestasi yang
rendah dibanding anak mendengar sesuainya pada mata-mata pelajaran yang
bersifat verbal, seperti Bahasa Indonesia, IPA, IPS, PKn, Matematika (dalam
soal cerita), dan Seni Suara; tetapi pada mata pelajaran yang bersifat
nonverbal, seperti pelajaran Olahraga dan Keterampilan, pada umumnya relatif
sama dengan temannya yang mendengar.
Dalam membahas perkembangan kognitif anak
tunarungu, ada tiga masalah yang akan dibahas yaitu:
a. Masalah
perkembangan struktur kognitif
Perkembangan
kognitif anak tunarungu sangat bervariasi tingkaytannya. Perkembangan kognitif
anak tunarungu ditentukan oleh:
1. Tingkat
kemampuan bahasa.
2. Variasi
pengalaman.
3. Pola
asuh atau kontrol lingkungan.
4. Tingkat
ketunarunguan dan daerah bagian telinga yang mengalami kerusakan.
5. Ada
tidaknya kecacatan lainnya.
b. Masalah
intelegensi
Pada
umumnya, anak tunarungu punya tingkat intelegensi yang secara potensial sama
dengan anak pada umumnya namun anak tunarungu kurang mampu dalam mengembangkan
fungsi intelegensinya. Hal ini disebabkan keterbatasan kemampuan fungsi
auditori, yang mengakibatkan kurangnya kemampuan penguasaan bahasa, gangguan
dalam komunikasai, dan keterbatasan informasi. Perkembangan kognitif
dipengaruhi dua faktor yaitu pembawaan dan lingkungan. Anak tunarungu memiliki
keterbasan dalam menangkap rangsang melalui pendengaran, akibatnya anak
tunarungu sering salah dalam memaknai suatu konsep yang datang dari luar.
Kesalahan dalam memaknai konsep ini mengakibatkan komunikasai terganggu,
informasi yang diterima kadang dimaknai tidak sama.
c. Masalah
perkembangan bahasa
Ada dua
masalah dalam perkmbangan bahasa anak tunarungu yaitu:
1. Masalah
kekacauan berbahasa.
·
Kelambatan bicara
·
Kekacauan dalam bahasa
reseptif (menerima)
·
Kekacauan dalam bahasa
ekspresif
2. Masalah
kekacaun berbicara.
·
Kesulitan dalam artikulasi,
misal tidak dapat menghasilkan suara r, k dan sebagainnya.
·
Kekacauan suara.
·
Kurang lancar dalam hal
berbicara, misal gagap.
Dalam berkomunikasi anak tunarungu menggunakan
berbagai alat komukasi, antara lain:
1. Menggunakan
bahasa oral, lebih ditekankan pada gerak bibir.
2. Menggunakan
tulisan dan membaca.
3. Menggunakan
bahasa isyarat.
M.
PERKEMBANGAN
SOSIAL, EMOSI DAN KEPRIBADIAN ANAK TUNARUNGU.
Perkembangan sosial emosi
anak tunarungu.
Anak tunarungu sebagai makhluk sosial seperti
juga manusia yang lain memilik kebutuhan untuk melakukan interaksi sosial.
Kebutuhan untuk melakukan interaksi sosial ini sering terhambat gangguan
komunikasi akibat keterbatasan fungsi pendengaran. Bentuk-bentuk perilaku
sosial yang ada pada anak tunarungu adalah sugesti, simpati, imitasi visual,
dorongan untukl bersahabat, menarik diri dari lingkungan sosial yang lebih
luas, dan kecemasan sosial.
Beberapa ahli mengatakan bahwa anak tunarungu
mempunyai perkembangan sosial yang lambat antara lain merasa rendah diri,
disingkirkan oleh keluarga, kurang dapat bergaul, ada perasaan cemburu, mudah
marah, dan agresif, tidaklah benar. Sebab tidak semua penderita tunarungu
mempunyai perkembangan sosial emosi seperti itu. Kondisi tunarungu tidak secara
langsung menghambat perkembanagan sosial dan emosi. Perkembangan emosi anak tunarungu banyak
ditentukan oleh kematangandan bagaimana anak tunarungu belajar pada lingkungan
sekitar.
Tetapi kekurangan akan pemahaman bahasa lisan
atau tulisan sering kali menyebabkan anak tunarungu menafsirkan sesuatu secara
negative atau salah dan ini sering menjadi tekanan bagi emosinya. Tekanan pada
emosinya itu dapat menghambat perkembangan pribadinya dengan menampilkan sikap
menutup diri, bertindak agresif, atau sebaliknya menampakkan keimbangan dan
keragu-raguan emosi anak tunarungu selalu bergolak di satu pihak karena
kemiskinan bahasanya dan di pihak lain karena pengaruh dari luar yang
diterimanya. Anak tunarungu bila di tegur oleh orang yang tidak di kenalnya
akan tampak resah dan gelisah.
Perkembangan Kepribadian Anak Tunarungu
Kepribadian anak tunarungu juga banyak
ditentukan oleh disposis (pembawaan) dan perlakuan-perlakuan dari lingkungan.
Ada 5 faktor yang mempengaruhi kepribadian, yaitu :
a. Pengalaman
usia dini
b. Pola
asuh
c. Kondisi
atau tingkatan ketunarunguan
d. Pemberian
cap
e. Kesehatan
fisik
Pertemuan antara faktor-faktor dalam diri anak
tunarungu, yaitu ketidakmampuan menerima ransangan pendengaran, kemiskinan
berbahasa, ketidaktetapan emosi, dan keterbatasan intelegensi di hubungkan
denagn sikap lingkungan terhadapnya menghambat perkembangan kepribadiannya.
DAFTAR PUSTAKA
Effendi, Mohammad. 2006. Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta : Bumi Aksara
Sunaryo, Ilham dan Surtikanti. 2011. Pendidikan Anak Berkabutuhan Khusus
(Inklusif). Surakarta : FKIP UMS
Wardani, I.G.A.K , dkk. 2007. Pengantar Pendidikan Luar Biasa. Jakarta
: Universitas Terbuka
Nur Isneni, Siti. 2010. “Karakteristik dan Masalah Perkembangan “. (online) http://sitinurisneni.blogspot.com/2010/03/karakteristik-dan-masalah-perkembangan.html, diakses
pada 4 Oktober 2012 pukul 14:40