Halaman


Selasa, 17 September 2013

TUNA NETRA

A.    Definisi Tuna Netra
Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan. Tunanetra dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu: buta total (Blind) dan low vision.
Definisi Tunanetra menurut Kaufman & Hallahan adalah individu yang memiliki lemah penglihatan atau akurasi penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki penglihatan. Karena tunanetra memiliki keterbataan dalam indra penglihatan maka proses pembelajaran menekankan pada alat indra yang lain yaitu indra peraba dan indra pendengaran.
Pengertian tunanetra menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tidak dapat melihat (KBBI, 1989:p.971) dan menurut iterature berbahasa Inggris visually handicapped atau visual impaired. Pada umumnya orang mengira bahwa tunanetra identik dengan buta, padahal tidaklah demikian karena tunanetra dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori.
Anak yang mengalami gangguan penglihatan dapat didefinisikan sebagai anak yang rusak penglihatannya yang walaupun dibantu dengan perbaikan, masih mempunyai pengaruh yang merugikan bagi anak yang yang bersangkutan (Scholl, 1986:p.29). Pengertian ini mencakup anak yang masih memiliki sisa penglihatan dan yang buta.
Dengan demikian, pengertian anak tunanetra adalah individu yang indera penglihatannya (kedua-duanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti orang awas. Anak-anak dengan gangguan penglihatan ini dapat diketahui dalam kondisi berikut :
~     Ketajaman penglihatannya kurang dari ketajaman yang dimiliki orang awas.
~     Terjadi kekeruhan pada lensa mata atau terdapat cairan tertentu.
~     Posisi mata sulit dikendalikan oleh syaraf otak.
~     Terjadi kerusakan susunan syaraf otak yang berhubungan dengan penglihatan.
Dari kondisi-kondisi di atas, pada umumnya yang digunakan sebagai patokan apakah seorang anak termasuk tunanetra atau tidak ialah berdasarkan pada tingkat ketajaman penglihatannya. Untuk mengetahui ketunanetraan dapat digunakan suatu tes yang dikenal sebagai Snellen Card.

B.     Klasifikasi  dan Karakteristik Anak  Tuna Netra
Ø  Klasifikasi Anak Tunanetra
Berbeda dengan yang diketahui oleh masyarakat umum, klasifikasi tunanetra yang akan dijelaskan di bawah ini cukup beragam. Klasifikasi ini bukan untuk menyekat-sekatkan tunanetra, melainkan sebagai starting point (titik dimulainya) asesmen agar mempermudah dalam menyediakan pelayanan pendidikan khusus (pendidikan inklusi). Klasifikasi yang dialami anak tuna netra antara lain:
1.      Menurut Lowenfeld, (1955:p.219), klasifikasi anak tunanetra yang didasarkan pada waktu terjadinya ketunanetraan, yaitu :
a.       Tunanetra sebelum dan sejak lahir, yakni mereka yang sama sekali tidak memiliki pengalaman penglihatan.
b.      Tunanetra setelah lahir atau pada usia kecil; mereka telah memiliki kesan-kesan serta pengalaman visual tetapi belum kuat dan mudah terlupakan.
c.       Tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja, mereka telah memiliki kesan-kesan visual dan meninggalkan pengaruh yang mendalam terhadap proses perkembangan pribadi.
d.      Tunanetra pada usia dewasa, pada umumnya mereka yang dengan segala kesadaran mampu melakukan latihan-latihan penyesuaian diri.
e.       Tunanetra dalam usia lanjut, sebagian besar sudah sulit mengikuti latihan-latihan penyesuaian diri.
f.       Tunanetra akibat bawaan (partial sight bawaan)
2.      Klasifikasi anak tunanetra berdasarkan kemampuan daya penglihatan, yaitu :
a.       Tunanetra ringan (defective vision/low vision); yakni mereka yang memiliki hambatan dalam penglihatan akan tetapi mereka masih dapat mengikuti program-program pendidikan dan mampu melakukan pekerjaan/kegiatan yang menggunakan fungsi penglihatan.
b.      Tunanetra setengah berat (partially sighted); yakni mereka yang kehilangan sebagian daya penglihatan, hanya dengan menggunakan kaca pembesar mampu mengikuti pendidikan biasa atau mampu membaca tulisan yang bercetak tebal.
c.       Tunanetra berat (totally blind); yakni mereka yang sama sekali tidak dapat melihat.
3.      Menurut WHO, klasifikasi didasarkan pada pemeriksaan klinis, yaitu :
a.       Tunanetra yang memiliki ketajaman penglihatan kurang dari 20/200 dan atau memiliki bidang penglihatan kurang dari 20 derajat.
b.      Tunanetra yang masih memiliki ketajaman penglihatan antara 20/70 sampai dengan 20/200 yang dapat lebih baik melalui perbaikan.
4.      Menurut Hathaway, klasifikasi didasarkan dari segi pendidikan, yaitu :
a.       Anak yang memiliki ketajaman penglihatan 20/70 atau kurang setelah memperoleh pelayanan medis.
b.      Anak yang mempunyai penyimpangan penglihatan dari yang normal dan menurut ahli mata dapat bermanfaat dengan menyediakan atau memberikan fasilitas pendidikan yang khusus.
5.      Menurut Howard dan Orlansky, klasifikasi didasarkan pada kelainan-kelainan yang terjadi pada mata, yaitu :
a.       Kelainan ini disebabkan karena adanya kesalahan pembiasan pada mata. Hal ini terjadi bila cahaya tidak terfokus sehingga tidak jatuh pada retina. Peristiwa ini dapat diperbaiki dengan memberikan lensa atau lensa kontak. Kelainan-kelainan itu, antara lain :
~        Myopia adalah penglihatan jarak dekat, bayangan tidak terfokus dan jatuh di belakang retina. Penglihatan akan menjadi jelas kalau objek didekatkan. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita Myopia digunakan kacamata koreksi dengan lensa negatif.
~        Hyperopia adalah penglihatan jarak jauh, bayangan tidak terfokus dan jatuh di depan retina. Penglihatan akan menjadi jelas jika objek dijauhkan. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita Hyperopia digunakan kacamata koreksi dengan lensa positif.
~        Astigmatisme adalah penyimpangan atau penglihatan kabur yang disebabkan karena ketidakberesan pada kornea mata atau pada permukaan lain pada bola mata sehingga bayangan benda baik pada jarak dekat maupun jauh tidak terfokus jatuh pada retina. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita astigmatisme digunakan kacamata koreksi dengan lensa silindris.
Ø  Karakteristik Anak Tunanetra
1)      Fisik
Keadaan fisik anak tunanetra tidak berbeda dengan anak sebaya lainnya. Perbedaan nyata diantara mereka hanya terdapat pada organ penglihatannya.
Gejala tunanetra yang dapat diamati dari segi fisik diantaranya :
1) Mata juling
2) Sering berkedip
3) Menyipitkan mata
4) (kelopak) mata merah
5) Mata infeksi
6) Gerakan mata tak beraturan dan cepat
7) Mata selalu berair (mengeluarkan air mata)
8) Pembengkakan pada kulit tempat tumbuh bulu mata.
2)      Perilaku (Behavior)
Ada beberapa gejala tingkah laku yang tampak sebagai petunjuk dalam mengenal anak yang mengalami gangguan penglihatan secara dini :
a)      Menggosok mata secara berlebihan.
b)      Menutup atau melindungi mata sebelah, memiringkan kepala atau mencondongkan kepala ke depan.
c)      Sukar membaca atau dalam mengerjakan pekerjaan lain yang sangat memerlukan penggunaan mata.
d)     Berkedip lebih banyak daripada biasanya atau lekas marah apabila mengerjakan suatu pekerjaan.
e)      Membawa bukunya ke dekat mata.
f)       Tidak dapat melihat benda-benda yang agak jauh.
g)      Menyipitkan mata atau mengkerutkan dahi.
h)      Tidak tertarik perhatiannya pada objek penglihatan atau pada tugas-tugas yang memerlukan penglihatan seperti melihat gambar atau membaca.
i)        Janggal dalam bermain yang memerlukan kerjasama tangan dan mata.
j)        Menghindar dari tugas-tugas yang memerlukan penglihatan atau memerlukan penglihatan jarak jauh.
Penjelasan lainnya berdasarkan adanya beberapa keluhan seperti :
a)      Mata gatal, panas atau merasa ingin menggaruk karena gatal.
b)      Banyak mengeluh tentang ketidakmampuan dalam melihat
c)      Merasa pusing atau sakit kepala.
d)     Kabur atau penglihatan ganda.


3)      Psikis
Secara psikis anak tunanetra dapat dijelaskan sebagai berikut :
a)       Mental/intelektual
Intelektual atau kecerdasan anak tunanetra umumnya tidak berbeda jauh dengan anak normal/awas. Kecenderungan IQ anak tunanetra ada pada batas atas sampai batas bawah, jadi ada anak yang sangat pintar, cukup pintar dan ada yang kurang pintar. Intelegensi mereka lengkap yakni memiliki kemampuan dedikasi, analogi, asosiasi dan sebagainya. Mereka juga punya emosi negatif dan positif, seperti sedih, gembira, punya rasa benci, kecewa, gelisah, bahagia dan sebagainya.
b)      Sosial
Hubungan sosial yang pertama terjadi dengan anak adalah hubungan dengan ibu, ayah, dan anggota keluarga lain yang ada di lingkungan keluarga. Kadang kala ada orang tua dan anggota keluarga yang tidak siap menerima kehadiran anak tunanetra, sehingga muncul ketegangan, gelisah di antara keluarga. Akibat dari keterbatasan rangsangan visual untuk menerima perlakuan orang lain terhadap dirinya.
Tunanetra mengalami hambatan dalam perkembangan kepribadian dengan timbulnya beberapa masalah antara lain:
a)      Curiga terhadap orang lain
Akibat dari keterbatasan rangsangan visual, anak tunanetra kurang mampu berorientasi dengan llingkungan, sehingga kemampuan mobilitaspun akan terganggu. Sikap berhati-hati yang berlebihan dapat berkembang menjadi sifat curiga terhadap orang lain.
Untuk mengurangi rasa kecewa akibat keterbatasan kemampuan bergerak dan berbuat, maka latihan-latihan orientasi dan mobilitas, upaya mempertajam fungsi indera lainnya akan membantu anak tunanetra dalam menumbuhkan sikap disiplin dan rasa percaya diri.
b)      Perasaan mudah tersinggung
Perasaan mudah tersinggung dapat disebabkan oleh terbatasnya rangsangan visual yang diterima. Pengalaman sehari-hari yang selalu menumbuhkan kecewa menjadikan seorang tunanetra yang emosional.
c)      Ketergantungan yang berlebihan
Ketergantungan ialah suatu sikap tidak mau mengatasi kesulitan diri sendiri, cenderung mengharapkan pertolongan orang lain. Anak tunanetra harus diberi kesempatan untuk menolong diri sendiri, berbuat dan bertanggung jawab. Kegiatan sederhana seperti makan, minum, mandi, berpakaian, dibiasakan dilakukan sendiri sejak kecil.
d)     Akademis
Karakteristik Anak Tunanetra dalam Aspek Akademis Tilman& Osborn (1969) menemukan beberapa perbedaan antara anak tunanetra dan anak awas.
a.       Anak tunanetra menyimpan pengalaman-pengalaman khusus seperti halnya anak awas, namun pengalaman-pengalaman tersebut kurang terintegrasikan.
b.      Anak tunanetra mendapatkan angka yang hampir sama dengan anak awas, dalam hal berhitung, informasi, dan kosakata, tetapi kurang baik dalam hal pemahaman (comprehention) dan persaman.
c.       Kosa kata anak tunanetra cenderung merupakan kata-kata yang definitif.




C.    Pencegahan Terjadinya Tunanetra
Upaya yang dapat dilakukan sebagai pencegahan terjadinya tunanetra dapat dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu: secara medis, sosial, dan edukatif.
1.      Pencegahan secara Medis
-          Melakukan pemeriksaan genetika kepada dokter ahli sebelum menikah agar diketahui apakah gen yang mereka miliki dapat menyebabkan kecacatan atau tidak pada anak yang kelak dilahirkan.
-          Menghindari terapi radio aktif bagi ibu hamil, terutama pada usia kandungan tiga bulan pertama dan tiga bulan ketiga. Diagnostik pada wanita hamil sebaiknya dilakukan sebelum hari ke-10 pada siklus menstruasi. Hal ini untuk mencegah terjadinya mutasi kromosom sel-sel pada ovarium.
-          Pemberian vitamin A dosis tinggi untuk mencegah kekurangan vitamin A. Dalam hal ini pemerintah sudah melakukan upaya tersebut, dengan memberikan vitamin A secara gratis pada setiap balita.
-          Pencegahan terhadap virus menular seperti virus rubella, syphilis dan sebagainya. Pencegahan terhada virus Rubella dapat dilakukan dengan melakukan imunisasi rubella secara rutin terutama pada anak perempuan usi 1 tahun sampai usia dewasa.
-          Melakukan pemeriksaan dini kepada dokter mata apabila terjadi keluhan pada mata secara serius.
2.      Pencegahan secara Sosial
-          Memberikan penyuluhan mengenai penyebab terjadinya tunanetra. Penyuluhan dapat diberikan melalui kegiatan PKK karena seorang ibu memegang peranan penting dalam mencegah terjadinya tunanetra.
-          Kegiatan yang dilakukan oleh Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat). Pukesmas selaku instansi kesehatan, tidak hanya melayani masyarakat umum, tapi juga berperan untuk menjaga kesehatan anak-anak sekolah melalui Unit Kesehatan Sekolah (UKS), sehingga dapat dilakukan pemeriksaan secara dini untuk mencegah wabah di sekolah tersebut, kemudian juga dapat dilakukan pengamatan terhadap kondisi dan fungsi penglihatan  anak, seperti mata juling (ringan atau berat), kesalahan dalam mebaca, keluhan (kepala pusing, penglihatan kabur atau berkunang-kunang), kegiatan motorik, seperti memegang buku terlalu jauh atau terlalu dekat, mata basah atau terus berair, dan kelopak mata merah atau berkerak, serta melakukan tes ketajaman penglihatan dengan kartu Snellen.
-          Meningkatkan perlindungan keselamatan kerja pada para buruh di perusahaan-perusaaan, terutama pada perusahaan yang banyak menggunakan bahan kimia.
3.      Pencegahan secara Edukatif
Dalam upaya pencegahan tunanetra secara edukatif, keluarga dan sekolah memegang peranan yang sangat penting yang dapat dijelaskan sebagai berikut.
a)      Peranan Keluarga
Dari uraian terdahulu tentunya sudah dapat dimengerti bahwa ketunanetraan dapat disebabkan antara lain oleh faktor kekurangan gizi, terutama vitamin A , penyakit serta kecelakaan.
Oleh karena itu, peran keluarga bertanggung jawab untuk pemberian gizi yang baik, keluarga memegang peranan penring untuk menanamkan kebiasaan hidup sehat, terutama dalam penggunaan dan pemeliharaan kesehatan penglihatannya.
b)      Peranan Sekolah
Sekolah sebagai wahana bagi anak untuk memperoleh berbagai pengetahuan, turut berperan dalam upaya mencegah terjadinya ketunanetraan pada para siswa. Upaya yang dapat dilakukan adalah memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang berbagai penyakit mata serta cara mengatasi atau pencegahannya, memelihara kesehatan diri dan lingkungannya, makan makanan yang banyak mengandung vitamin A dan mengarahkannya agar menyukai makanan tersebut, menghindari permainan yang membahayakan kesehatan mata terutama apada anak laki-laki yang senang bermain ketapel, tembak-tembakan dengan menggunakan peluru mainan.

D.    Kebutuhan dan Layanan Pendidikan bagi Tunanetra
Anak tunanetra sebagaimana anak lainnya, membutuhkan pendidikan untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal. Oleh karena adanya gangguan penglihatan, anak tunanetra membutuhkan layanan khusus untuk merehabilitasi kelainannya, yang meliputi: latihan membaca dan menulis huruf Braille, penggunaan tongkat, orientasi dan mobilitas, serta latihan visual/fungsional penglihatan.
Layanan pendidikan bagi anak tunanetra dapat dilaksanakan melalui sistem segregasi, yaitu secara terpisah dari anak awas; dan integrasi atau terpadu dengan anak awas di sekolah biasa. Tempat pendidikan dengan sistem segregasi, meputi: sekolah khusus (SLB-A), SDLB, dan kelas jauh/kelas kunjung. Bentuk-bentuk keterpaduan yang dapat diikuti oleh anak tunanetra yang mengikuti sistem integrasi, meliputi: kelas biasa dengan guru konsultan, kelas biasa dengan guru kunjung, kelas biasa dengan ruang-ruang sumber, dan kelas khusus.

E.     Strategi Pembelajaran Bagi Tuna Netra
Strategi pembelajaran bagi anak tunanetra, pada dasarnya sama dengan strategi pembelajaran bagi anak awas, hanya dalam pelaksanaannya memerlukan modifikasi sehingga pesan atau materi pelajaran yang disampaikan dapat diterima/ditangkap oleh anak tunanetra melalui indera-indera yang masih berfungsi.
Dalam pembelajaran anak tunanetra, terdapat prinsip-prinsip yang harus diperhatikan,antara lain prinsip individual, kekonkritan/pengalaman penginderaan, totalitas, dan aktivitas mandiri (selfactivity).
Menurut fungsinya, media pembelajaran dapat dibedakan menjadi, media untuk menjelaskan konsep (alat peraga) dan media untuk membantu kelancaran proses pembelajaran (alat bantu pembelajaran).
Alat bantu pembelajaran, antara lain meliputi: alat bantu menulis huruf Braille (reglet, pen dan mesin ketik Braille); alat bantu membaca huruf Braille (papan huruf dan optacon); alat bantu berhitung (cubaritma, abacus/sempoa, speech calculator), serta alat bantu yang bersifat audio seperti tape-recorder.
Permasalahan strategi pembelajaran dalam pendidikan anak tunanetra didasarkan pada dua pemikiran, yaitu :
1. Upaya memodifikasi lingkungan agar sesuai dengan kondisi anak (disatu   sisi).
2. Upaya pemanfaatan secara optimal indera-indera yang masih berfungsi, untuk mengimbangi kelemahan yang disebabkan hilangnya fungsi penglihatan (di sisi lain).
Strategi pembelajaran dalam pendidikan anak tunanetra pada hakekatnya adalah strategi pembelajaran umum yang diterapkan dalam kerangka dua pemikiran di atas. Pertama-tama guru harus menguasai karakteristik/strategi pembelajaran yang umum pada anak-anak awas, meliputi tujuan, materi, alat, cara, lingkungan, dan aspek-aspek lainnya. Langkah berikutnya adalah menganalisis komponen-komponen mana saja yang perlu atau tidak perlu dirubah/dimodifikasi dan bagaimana serta sejauh mana modifikasi itu dilakukan jika perlu. Pada tahap berikutnya, pemanfaatan indera yang masih berfungsi secara optimal dan terpadu dalam praktek/proses pembelajaran memegang peran yag sangat penting dalam menentukan keberhasilan belajar.
Dalam pembelajaran anak tunanetra, terdapat prinsip-prinsip yang harus diperhatikan, antara lain :

1) Prinsip Individual
Prinsip individual adalah prinsip umum dalam pembelajaran manapun (PLB maupun pendidikan umum) guru dituntut untuk memperhatikan adanya perbedaan-perbedaan individu. Dalam pendidikan tunanetra, dimensi perbedaan individu itu sendiri menjadi lebih luas dan kompleks. Di samping adanya perbedaan-perbedaan umum seperti usia, kemampuan mental, fisik, kesehatan, sosial, dan budaya, anak tunanetra menunjukkan sejumlah perbedaan khusus yang terkait dengan ketunanetraannya (tingkat ketunanetraan, masa terjadinya kecacatan, sebab-sebab ketunanetraan, dampak sosial-psikologis akibat kecacatan, dll). Secara umum, harus ada beberapa perbedaan layanan pendidikan antara anak low vision dengan anak yang buta total. Prinsip layanan individu ini lebih jauh mengisyaratkan perlunya guru untuk merancang strategi pembelajaran yang sesuai dengan keadaan anak. Inilah alasan dasar terhadap perlunya (Individual Education ProgramIEP).
2) Prinsip kekonkritan/pengalaman penginderaan
Strategi pembelajaran yang digunakan oleh guru harus memungkinkan anak tunanetra mendapatkan pengalaman secara nyata dari apa yang dipelajarinya. Dalam bahasa Bower (1986) disebut sebagai pengalaman penginderaan langsung. Anak tunanetra tidak dapat belajar melalui pengamatan visual yang memiliki dimensi jarak, bunga yang sedang mekar, pesawat yang sedang terbang, atau seekor semut yang sedang mengangkut makanan. Strategi pembelajaran harus memungkinkan adanya akses langsung terhadap objek, atau situasi. Anak tunanetra harus dibimbing untuk meraba, mendengar, mencium, mengecap, mengalami situasi secara langsung dan juga melihat bagi anak low vision. Prinsip ini sangat erat kaitannya dengan komponen alat/media dan lingkungan pembelajaran. Untuk memenuhi prinsip kekonkritan, perlu tersedia alat atau media pembelajaran yang mendukung dan relevan. Pembahasan mengenai alat pembelajaran akan disampaikan pada bagian khusus.
3) Prinsip totalitas
Strategi pembelajaran yang dilakukan guru haruslah memungkinkan siswa untuk memperoleh pengalaman objek maupun situasi secara utuh dapat terjadi apabila guru mendorong siswa untuk melibatkan semua pengalaman penginderaannya secara terpadu dalam memahami sebuah konsep. Dalam bahasa Bower (1986) gagasan ini disebut sebagai multi sensory approach, yaitu penggunaan semua alat indera yang masih berfungsi secara menyeluruh mengenai suatu objek. Untuk mendapatkan gambaran mengenai burung, anak tunanetra harus melibatkan perabaan untuk mengenai ukuran bentuk, sifat permukaan, kehangatan. Dia juga harus memanfaatkan pendengarannya untuk mengenali suara burung dan bahkan mungkin juga penciumannya agar mengenali bau khas burung. Pengalaman anak mengenai burung akan menjadi lebih luas dan menyeluruh dibandingkan dengan anak yang hanya menggunakan satu inderanya dalam mengamati burung tersebut. Hilangnya penglihatan pada anak tunanetra menyebabkan dirinya menjadi sulit untuk mendapatkan gambaran yang utuh/menyeluruh mengenai objek-objek yang tidak bisa diamati secara seretak (suatu situasi atau benda berukuran besar). Oleh sebab itu, perabaan dengan beberapa tekhnik penggunaannya menjadi sangatlah penting.
4) Prinsip aktivitas mandiri (selfactivity)
Strategi pembelajaran haruslah memungkinkan atau mendorong anak tunanetra belajar secara aktif dan mandiri. Anak belajar mencari dan menemukan, sementara guru adalah fasilitator yang membantu memudahkan siswa untuk belajar dan motivator yang membangkitkan keinginannya untuk belajar. Prinsip ini pun mengisyaratkan bahwa strategi pembelajaran harus memungkinkan siswa untuk bekerja dan mengalami, bukan mendengar dan mencatat. Keharusan ini memiliki implikasi terhadap perlunya siswa mengetahui, menguasai, dan menjalani proses dalam memperoleh fakta atau konsep. Isi pelajaran (fakta, konsep) adalah penting bagi anak, tetapi akan lebih penting lagi bila anak menguasai dan mengalami guna mendapatkan isi pelajaran tersebut.

F.     Pola Pembelajaran bagi Penyandang Tuna Netra
Permasalahan pembelajaran dalam pendidikan tunanetra adalah masalah penyesuaian. Penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran pada anak tunanetra lebih banyak berorientasi pada pendidikan umum, terutama menyangkut tujuan dan muatan kurikulum. Dalam strategi pembelajaran, tugas guru adalah mencermati setiap bagian dari kurikulum, mana yang bisa disampaikan secara utuh tanpa harus mengalami perubahan, mana yang harus dimodifikasi, dan mana yang harus dihilangkan sama sekali.
                                                       SUMBER
Astati, dkk. 2007. Pengantar Pendidkan Luar Biasa. Jakarta: Universitas Terbuka.

Budi, Antika Onny. 2008. Pendidikan Tunanetra. Bandung: Refika Aditama.

Efendi, Muhammad. 2006. Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Surtikanti, Ilham Sunaryo. 2011. Pendidikan Berkebutuhan khusus (Inklusif). Surakarta: UMS.

Wibowo, Sakti. 2012. Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus. (http://saktiwibowo.blogspot.co.id) Diakses pada tanggal 17 September 2012.

Tunanetra (http://slbk-batam.org) Diakses pada tanggal 15 September 2012.