Halaman


Kamis, 25 April 2013

HAKIKAT MASALAH PENELITIAN


A.  Hakikat Masalah
1.    Masalah adalah persoalan yang menuntut adanya jawaban yang tepat dan akurat. 
2.    Masalah adalah:
a.    Kesenjangan antara yang dimiliki dengan apa yang dibutuhkan.
b.    Kesenjangan antara yang dilaksanakan dengan yang direncanakan. 
c.    Kesenjangan antara kenyataan dengan harapan.
d.   Kesenjangan dapat bersifat kuantitatif atau kualitatif.

B.  Hakikat masalah penelitian
Penelitian atau riset adalah terjemahan dari bahasa Inggris research, yang merupakan gabungan dari kata re (kembali) dan to search (mencari). Beberapa sumber lain menyebutkan bahwa research adalah berasal dari bahasa Perancis recherche.Definisi lain dari  Penelitian adalah mencari jawaban atas masalah yang diajukan. Intinya hakikat penelitian adalah “mencari kembali”.
Definisi tentang penelitian yang muncul sekarang ini bermacam-macam, salah satu yang cukup terkenal adalah menurut Webster’s New Collegiate Dictionary yang mengatakan bahwa penelitian adalah “penyidikan atau pemeriksaan bersungguh-sungguh, khususnya investigasi atau eksperimen yang bertujuan menemukan dan menafsirkan fakta, revisi atas teori atau dalil yang telah diterima”.
Dalam buku berjudul Introduction to Research, T. Hillway menambahkan bahwa penelitian adalah “studi yang dilakukan seseorang melalui penyelidikan yang hati-hati dan sempurna terhadap suatu masalah, sehingga diperoleh pemecahan yang tepat terhadap masalah tersebut”. Ilmuwan lain bernama Woody memberikan gambaran bahwa penelitian adalah “metode menemukan kebenaran yang dilakukan dengan critical thinking (berpikir kritis)”.
Penelitian bisa menggunakan metode ilmiah (scientific method) atau non-ilmiah (unscientific method). Tapi kalau kita lihat dari definisi diatas, penelitian banyak bersinggungan dengan pemikiran kritis, rasional, logis (nalar), dan analitis, sehingga akhirnya penggunaan metode ilmiah (scientific method) adalah hal yang jamak dan disepakati umum dalam penelitian. Metode ilmiah juga dinilai lebih bisa diukur, dibuktikan dan dipahami dengan indera manusia. Penelitian yang menggunakan metode ilmiah disebut dengan penelitian ilmiah (scientific research).
1.    Penelitian Kualitatif
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang berguna untuk memperoleh penemuan-penemuan yang tidak terduga sebelumnya dan membangun kerangka teoritis baru. Penelitian kualitatif biasanya mengejar data verbal yang lebih mewakili fenomena dan bukan angka-angka yang penuh prosentaase dan merata yang kurang mewakili keseluruhan fenomena. Dari penelaitian kualitatif tersebut, data yang diperoleh dari lapangan biasanya tidak terstruktur dan relative banyak, sehingga memungkinkan peneliti untuk menata, mengkritis, dan mengklasifikasikan yanglebih menarik melalui penelitian kualitatif. Istilah penelitian kualitatif, awalnya beraasal dari sebuah pengamatan pengamatan kuantitatif yang dipertentangkan dengan pengamatan kualitatif (Suwardi Endraswara, 2006:81).
Menurut Brannen (1997:9-12), secara epistemologis memangada sedikit perbedaan antara penelitian kualitatif dan kuantitatif. Jika penelitian kuantitatif selalu menentukan data dengan variabel-veriabel dan kategori ubahan, penelitian kualitatif justru sebaliknya. Perbedaan penting keduanya, terletak pada pengumpulan data. Tradisi kualitatif, peneliti sebagai instrument pengumpul data, mengikuti asumsi cultural, dan mengikuti data.
Penelitian kualitatif (termasuk penelitian historis dan deskriptif)adalah penelitian yang tidak menggunakan model-model matematik, statistik atau komputer. Proses penelitian dimulai dengan menyusun asumsi dasar dan aturan berpikir yang akan digunakan dalam penelitian. Asumsi dan aturan berpikir tersebut selanjutnya diterapkan secara sistematis dalam pengumpulan dan pengolahan data untuk memberikan penjelasan dan argumentasi. Dalam penelitian kualitatif informasi yang dikumpulkan dan diolah harus tetap obyektif dan tidak dipengaruhi oleh pendapat peneliti sendiri. Penelitian kualitatif banyak diterapkan dalam penelitian historis atau deskriptif. Penelitian kualitatif mencakup berbagai pendekatan yang berbeda satu sama lain tetapi memiliki karakteristik dan tujuan yang sama. Berbagai pendekatan tersebut dapat dikenal melalui berbagai istilah seperti: penelitian kualitatif, penelitian lapangan, penelitian naturalistik, penelitian interpretif, penelitian etnografik, penelitian post positivistic, penelitian fenomenologik, hermeneutic, humanistik dan studi kasus. Metode kualitatif menggunakan beberapa bentuk pengumpulan data seperti transkrip wawancara terbuka, deskripsi observasi, serta analisis dokumen dan artefak lainnya. Data tersebut dianalisis dengan tetap mempertahankan keaslian teks yang memaknainya. Hal ini dilakukan karena tujuan penelitian kualitatif adalah untuk memahami fenomena dari sudut pandang partisipan, konteks sosial dan institusional. Sehingga pendekatan kualitatif umumnya bersifat induktif.
Penelitian kualitatif adalah satu model penelitian humanistik, yang menempatkan manusia sebagai subyek utama dalam peristiwa sosial/budaya. Jenis penelitian ini berlandaskan pada filsafat fenomenologis dari Edmund Husserl (1859-1928) dan kemudian dikembangkan oleh Max Weber (1864-1920) ke dalam sosiologi. Sifat humanis dari aliran pemikiran ini terlihat dari pandangan tentang posisi manusia sebagai penentu utama perilaku individu dan gejala sosial. Dalam pandangan Weber, tingkah laku manusia yang tampak merupakan konsekwensi-konsekwensi dari sejumlah pandangan atau doktrin yang hidup di kepala manusia pelakunya. Jadi, ada sejumlah pengertian, batasan-batasan, atau kompleksitas makna yang hidup di kepala manusia pelaku, yang membentuk tingkah laku yang terkspresi secara eksplisit.
2.    Penelitian Kuantitatif
Menurut August Comte (1798-1857) menyatakan bahwa paradigma kuantitatif merupakan satu pendekatan penelitian yang dibangun berdasarkan filsafat positivisme. Positivisme adalah satu aliran filsafat yang menolak unsur metafisik dan teologik dari realitas sosial. Karena penolakannya terhadap unsur metafisis dan teologis, positivisme kadang-kadang dianggap sebagai sebuah varian dari Materialisme (bila yang terakhir ini dikontraskan dengan Idealisme).
Dalam penelitian kuantitatif diyakini, bahwa satu-satunya pengetahuan (knowledge) yang valid adalah ilmu pengetahuan (science), yaitu pengetahuan yang berawal dan didasarkan pada pengalaman (experience) yang tertangkap lewat pancaindera untuk kemudian diolah oleh nalar (reason). Secara epistemologis, dalam penelitian kuantitatif diterima suatu paradigma, bahwa sumber pengetahuan paling utama adalah fakta yang sudah pernah terjadi, dan lebih khusus lagi hal-hal yang dapat ditangkap pancaindera (exposed to sensory experience). Hal ini sekaligus mengindikasikan, bahwa secara ontologis, obyek studi penelitian kuantitatif adalah fenomena dan hubungan-hubungan umum antara fenomena-fenomena (general relations between phenomena). Yang dimaksud dengan fenomena di sini adalah sejalan dengan prinsip sensory experience yang terbatas pada external appearance given in sense perception saja. Karena pengetahuan itu bersumber dari fakta yang diperoleh melalui pancaindera, maka ilmu pengetahuan harus didasarkan pada eksperimen, induksi dan observasi (Edmund Husserl 1859-1926).
Sejalan dengan penjelasan di atas, secara epistemologi, paradigma kuantitatif berpandangan bahwa sumber ilmu itu terdiri dari dua, yaitu pemikiran rasional data empiris. Karena itu, ukuran kebenaran terletak pada koherensi dan korespondensi. Koheren besarti sesuai dengan teori-teori terdahulu, serta korespondens berarti sesuai dengan kenyataan empiris. Kerangka pengembangan ilmu itu dimulai dari proses perumusan hipotesis yang deduksi dari teori, kemudian diuji kebenarannya melalui verifikasi untuk diproses lebih lanjut secara induktif menuju perumusan teori baru. Jadi, secara epistemologis, pengembangan ilmu itu berputar mengikuti siklus; logico, hypothetico, verifikatif.
Tindakan
Tindakan adalah suatu perbuatan yang dilakukan dalam penelitian guna mencapai penelitian yang senpurna. Tindakan ini dimaksudkan agar peneliti mengetahui dengan jelas bahwa ada beberapa ketentuan dalam melakukan tindakan penelitian. Seperti halnya penelitian kualitatif dan kuantitatif, tindakan termasuk aspek yang perlu dikaji oleh seorang peneliti. Tindakan merupakan salah satu ketentuan dalam penelitian.

C.  Bagaimana cara menemukan permasalahan
Pada umumnya guru kurang atau belum menyadari bahwa apa yang dihadapi adalah masalah, dan tidak mempermasalahkan. Biasanya sesuatu baru dianggap sebagai masalah jika guru telah merasa kewalahan, tidak berdaya dan tidak mampu menghadapi sendiri. Maka cara yang dapat dilakukan guru
1.        Menuliskan semua hal yang dirasakan memerlukan perhatian, kepedulian karena akan mempunyai dampak yang tidak diharapkan terjadi, terutama terkait dengan pembelajaran; seperti intensitas waktu pembelajaran, penyampaian, daya tangkap dan serap siswa, alat/ media pembelajaran, manajemen kelas, motivasi, sikap dan nilai perilaku siswa, dan lain-lain.
2.        Kemudian dipilahkan dan diklasifikasikan menurut jenis/ bidang permasalahannya, jumlah siswa yang mengalami, dan tingkat frekuensi timbul.
3.         Urutkan dari yang ringan, jarang terjadi, banyaknya siswa mengalami dan masing-masing jenis permasalahannya.
4.        Dari setiap urutan ambillah 3-5 masalah dan coba dikonfirmasikan kepada guru yang mengajar mata pelajaran sejenis, baik di dalam sekolah sendiri atau guru di sekolah lain.
5.        Jika apa yang dirumuskan ternyata mendapat konfirmasi, maka masalah tersebut memang merupakan masalah yang patut untuk diangkat sebagai calon masalah.
6.         Masalah yang telah dikonfirmasi tersebut kemudian dikaji kelayakan dan signifikansiniya untuk dipilih.
7.        Pilihlah fokus permasalahan yang terbatas. yang berukuran kecil, yang dapat dicari solusinya dalam waktu singkat yang tersedia untuk melakukan penelitian tindakan.
8.        Pilihlah fokus permasalahan yang penting untuk diselesaikan bagi kepentingan guru/dosen dan siswa/mahasiswa, dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari di kelas/ruang kuliah.
9.        Bekerjalah secara kolaboratif bersama mitra sejawat dalam penelitian ini, tanyalah apakah dia juga pernah menghadapi permasalahan yang semacam dengan masalah yang dihadapi guru/dosen.
10.    Sebaiknya fokus permasalahan yang dipilih relevan dengan tujuan dan rencana perkembangan sekolah atau fakultas secara keseluruhan.

D.   Bagaimana membuat rumusan masalah
Dalam memformulasikan atau merumuskan masalah, kiranya peneliti perlu memperhatikan beberapa ketentuan yang biasanya berlaku yaitu dengan memperhatikan:
1.        aspek substansi;
2.        aspek formulasi; dan
3.        aspek teknis.
Dari sisi aspek substansi atau isi yang terkandung, perlu dilihat dari bobot atau nilai kegunaan manfaat pemecahan masalah melalui tindakan seperti nilai aplikatifnya untuk memecahkan masalah serupa/mirip yang dihadapi guru, kegunaan metodologik dengan diketemukannya model tindakan dan prosedurnya, serta kegunaan teoritik dalam memperkaya atau mengoreksi teori pembelajaran yang berlaku. Sedang dari sisi orisinalitas, apakah pemecahan dengan model tindakan itu merupakan suatu hal baru yang belum pernah dilakukan guru sebelumnya. Jika sudah pernah berarti hanya merupakan pengulangan atau replikasi saja.
Pada aspek formulasi, seyogyanya masalah dirumuskan dalam bentuk kalimat interogatif (pertanyaan), meskipun tidak dilarang dirumuskan dalam bentuk deklaratif (pernyataan). Hendaknya dalam rumusan masalah tidak terkandung masalah dalam masalah, tetapi lugas menyatakan secara eksplisit dan spesifik tentang apa yang dipermasalahkan.
Dan aspek teknis, menyangkut kemampuan dan kelayakan peneliti untuk melakukan penelitian terhadap masalah yang dipilih. Pertimbangan yang dapat diajukan seperti kemampuan teoritik dan metodologik pembelajaran, penguasaan materi ajar, kemampuan metodologi penelitian tindakan, kemampuan fasilitas untuk melakukan penelitian seperti dana, waktu, tenaga, dan perhatian terhadap masalah yang akan dipecahkan. Oleh karena itu, disarankan untuk berangkat dari permasalahan sederhana tetapi bermakna, guru dapat melakukan di kelasnya dan tidak memerlukan biaya, waktu, dan tenaga yang besar.
Analisis Masalah
Yang dimaksud dengan analisis masalah di sini ialah kajian terhadap permasalahan dilihat dan segi kelayakannya. Sebagai acuan dapat diajukan beberapa hal berikut.
1.        konteks, situasi atau iklim di mana masalah terjadi
2.        kondisi-kondisi prasyarat untuk terjadinya masalah
3.        keterlibatan komponen, aktor dalam terjadinya masalah
4.        kemungkin adanya alternatif solusi yang dapat diajukan
5.        ketepatan dan lama waktu yang diperlukan untuk pemecahan masalah
Analisis masalah tersebut dipergunakan untuk merancang rencana tindakan baik dalam menentukan spesifikasi/jenis tindakan, keterlibatan aktor yang berkolaborasi (berperan), waktu dalam satu siklus, identifikasi indikator perubahan peningkatan dan dampak tindakan, cara pemantauan kemajuan, dan lain-lain. Formulasi alternatif solusi yang dirumuskan dalam bentuk hipotesis tindakan hanya mungkin dapat dilakukan jika analisis masalah dapat dilakukan dengan baik
Kesimpulannya: munculnya masalah penelitian didasarkan atas fakta empirik yang ada atau yang terjadi di lapangan. Oleh sebab itu perlu analisis atau kajian data, fenomena, fakta yang ada di lapangan, kemudian membandingkannya dengan harapan, keinginan, kebutuhan, berdasakan rencana, konsep, prinsip, aturan dan sistem yang berlaku.

Secara universal, terdapat tiga jenis pengetahuan yang selama ini mendasari kehidupan manusia yaitu: 
1)        logika yang dapat membedakan antara benar dan salah; 
2)        etika yang dapat membedakan antara baik dan buruk; serta 
3)        estetika yang dapat membedakan antara indah dan jelek. 

Kepekaan indra yang dimiliki, merupakan modal dasar dalam memperoleh pengetahuan tersebut. Salah satu wujud pengetahuan yang dimiliki manusia adalah pengetahuan ilmiah yang lazim dikatakan sebagai “ilmu”. Ilmu adalah bagian pengetahuan, namun tidak semua pengetahuan dapat dikatakan ilmu. Ilmu adalah pengetahuan yang didasari oleh dua teori kebenaran yaitu koherensi dan korespondensi. Koherensi menyatakan bahwa sesuatu pernyataan dikatakan benar jika pernyataan tersebut konsisten dengan pernyataan sebelumnya. Koherensi dalam pengetahuan diperoleh melalui pendekatan logis atau berpikir secara rasional. Korespondensi menyatakan bahwa suatu pernyataan dikatakan benar jika pernyataan tersebut didasarkan atas fakta atau realita. Koherensi dalam pengetahuan diperoleh melalui pendekatan empirik atau bertolak dari fakta. Dengan demikian, kebenaran ilmu harus dapat dideskripsikan secara rasional dan dibuktikan secara empirik.
Koherensi dan korespondensi mendasari bagaimana ilmu diperoleh telah melahirkan cara mendapatkan kebenaran ilmiah. Proses untuk mendapatkan ilmu agar memiliki nilai kebenaran harus dilandasai oleh cara berpikir yang rasional berdasarkan logika dan berpikir empiris berdasarkan fakta. Salah satu cara untuk mendapatkan ilmu adalah melalui penelitian. Banyak definisi tentang penelitian tergantung sudut pandang masing-masing. Penelitian dapat didefinisikan sebagai upaya mencari jawaban yang benar atas suatu masalah berdasarkan logika dan didukung oleh fakta empirik. Dapat pula dikatakan bahwa penelitian adalah kegiatan yang dilakukan secara sistematis melalui proses pengumpulan data, pengolah data, serta menarik kesimpulan berdasarkan data menggunakan metode dan teknik tertentu.
Pengertian tersebut di atas menyiratkan bahwa penelitian adalah langkah sistematis dalam upaya memecahkan masalah. Penelitian merupakan penelaahan terkendali yang mengandung dua hal pokok yaitu logika berpikir dan data atau informasi yang dikumpulkan secara empiris (Sudjana, 2001). Logika berpikir tampak dalam langkah-langkah sistematis mulai dari pengumpulan, pengolahan, analisis, penafsiran dan pengujian data sampai diperolehnya suatau kesimpulan. Informasi dikatakan empiris jika sumber data mengambarkan fakta yang terjadi bukan sekedar pemikiran atau rekayasa peneliti. Penelitian menggabungkan cara berpikir rasional yang didasari oleh logika/penalaran dan cara berpikir empiris yang didasari oleh fakta/ realita.
Penelitian sebagai upaya untuk memperoleh kebenaran harus didasari oleh proses berpikir ilmiah yang dituangka dalam metode ilmiah. Metode ilmiah adalah kerangka landasan bagi terciptanya pengetahuan ilmiah. Penelitian yang dilakukan menggunakan metode ilmiah mengandung dua unsur penting yakni pengamatan (observation) dan penalaran (reasoning). Metode ilmiah didasari oleh pemikiran bahwa apabila suatu pernyataan ingin diterima sebagai suatu kebenaran maka pernyataan tersebut harus dapat diverifikasi atau diuji kebenarannya secara empirik (berdasarkan fakta).

MASA DEWASA MADYA


A.      Pengertian Masa Dewasa Madya
Pada umumnya masa dewasa madya atau usia setengah baya dipandang sebagai masa usia antara 40 sampai 60 tahun. Usia dewasa madya dibagi menjadi dua yakni usia madya dini yang dari usia 40-50 tahun dan usia madya lanjut dari usia 50-60 tahun.
Masa  ini ditandai oleh adanya perubahan-perubahan jasmani dan mental serta masuk masa untuk pensiun.
Usia madya disebut “tahap mengecilnya daur keluarga” dalam kehidupan berumahtangga, karena perubahan terpenting paad periode tersebut dibantu dengan berkurangnya jumlah anggota keluarga yang tinggal dirumah.
Usia madya juga disebut periode “sarang kosong”, yaitu suatu periode dimana perubahan peran secara drastic terjadi baik bagi suami maupun isteri yang kurang menyebabkan traumatic daripada sebab yang ditimbulkan oleh kepercayaan yang sudah popular dalam masyarakat tentang periode sarang kosong yang mengerikan. Bagi wanita dalam masa ini lebih banyak memerlukan penyesuaian terhadap pola hidup ketimbang pria.
B.      Karakteristik dewasa  madya
1.       Usia Madya merupakan periode yang sangat ditakuti
Usia madya merupakan periode yang menakutkan, orang-orang dewasa tidak akan mengakui bahwa mereka telah mencapai usia tersebut.
Alasan mereka tidak mau mengakui karena fikiran negative yaitu :
-          Tentang kerusakan mental
-          Penurunan fisik
-          Berhentinya reproduksi Manoupose dan Klimaterik
-          Mereka merasa tidak dihormati lagi
-          Mereka menjadi rindu pada masa muda mereka dan berharap kembali masa muda mereka.

2.       Usia Madya Merupakan Masa Transisi
Usia madya merupakan masa dimana pria dan wanita meninggalkan ciri-ciri jasmaninya dan perilaku masa dewasanya dan memasuki suatu periode dalam kehidupan yang akan diliputi oleh ciri-ciri jasmani dan perilaku baru. Transisi berarti penyesuaian diri terhadap minat, nilai dan pola perilakunya yang baru.

3.       Usia Madya adalah Masa stress
Maksudnya penyesuaian secara radikal terhadap peran dan pola hidup yang berubah, khususnya bila disertai dengan berbagai perubahan fisik, selalu cenderung merusak homeostasis fisik dan psikologis seseorang dan membawa ke masa stress, suatu masa bila sejumlah penyesuaian pokok yang harus dilakukan di rumah, bisnis dan aspek social kehidupan mereka.
KATEGORI STRES PADA USIA MADYA
Stres somatik
Yang disebabkan oleh keadaan jasmani yang menunjukkan usia tua
Stres budaya
Yang berasal dari penempatan nilai yang tinggi pada kemudaan, keperkasaan dan kesuksesan oleh kelompok budaya tertentu
Stres Ekonomi
Yang di akibatkan oleh beban keuangan dari mendidik anak da memberikan status symbol bagi seluruh anggota keluarga.
Stres Psikologi
Yang mungkin diakibatkan oleh kematian suami atau isteri, kepergian anak dari rumah, kebosanan terhadap perkawinan, atau rasa hilangnya masa muda dan mendekati ambang kematian

4.       Usia yang berbahaya
Merupakan suatu masa dimana seseorang mengalami kesusuhan fisik sebagai akibat dari terlalu banyak bekerja, rasa cemas yang berlebihan, ataupun kurang memperhatikan kehidupan. Timbulnya penyakit jiwa dating dengan cepat dikalangan pria dan wanita, dan gangguan ini berpuncak pada suisid (bunuh diri), khususnya dikalangan pria.
Hal ini tidak hanya menganggu hubungan suami isteri, yang kadang-kadang menuju pada perpisahan atau perceraian, tetapi juga lambat laun membawa pria maupun wanita kepada gangguan jiwa, alkoholisme, pecandu obat dan suisid.
5.       Usia Madya adalah “Usia Canggung”
Dimana pria dan wanita yang berusia madya bukan “muda” lagi tapi bukan juga tua. Kemudian mereka merasa tidak dianggap. Orang-orang yang berusia madya sedapat mungkin berusaha untuk tidak dikenal oleh orang lain.
Pada sebagian individu kondisi ini mengakibatkan mereka ingin menutupi ketuaan dengan berbagai cara dan sejauh mungkin berusaha untuk tidak tampak tua, misalnya dalam hal pemilihan busana, berdandan/ pemakaian kosmetik dsb. Kadang-kadang apabila individu agak berlebihan di dalam menampilkan busana dan dandanan yang bertujuan untuk menutupi ketuaannya, maka hal ini justru menyebabkan mereka tampak janggal, sehingga terlihat kaku/canggung.
6.       Usia Madya adalah Masa berprestasi
Merupakan masa dimana peran orang yang berusia madya akan menjadi lebih sukses atau sebaliknya mereka berhenti dan tidak mengerjakan sesuatu apapun lagi.
7.       Usia Madya Merupakan Masa Evaluasi
Saat pria dan wanita mencapai puncak prestasinya, maka masa ini juga merupakan saat mengevaluasi prestasi tersebut berdasarkan aspirasi mereka semula dengan harapan-harapan orang lain, khususnya anggota keluarga dan teman. Archer menyatakan : “Pada usia duapuluhan kita mengikat diri pada pekerjaan atau perkawinan. Selama akhir tiga puluhan dan awal empat puluhan adalah umum bagi pria untuk melihat kembali keterikatan-keterikatan masa awal tersebut”.
Sebagai hasil dari evaluasi diri, Archer lebih lanjut lagi mengatakan, “Usia madya nampaknya menuntut perkembangan perasaan yang lebih nyata dan berbeda dari orang lain. Dalam perkembangan setiap orang memiliki fantasia tau ilusi mengenai apa dan bagaimana dirinya. Tanggungjawab lain pada usia madya menyangkut hal fantasi dan ilusi tersebut”.
8.       Usia Madya Dievaluasi dengan Standar Ganda
Bahwa masa ini dievaluasi dengan standar ganda, satu standar bagi pria dan satu lagi wanita. Walaupun perkembangannya cenderung mengarah kepersamaan peran antara pria dan wanita baik di rumah, perusahaan, perindustrian, profesi maupun dalam kehidupan social, namun masih terdapat standar ganda terhadap usia. Meskipun standar ganda ini mempengaruhi banyak aspek terhadap kehidupan pria dan wanita usia madya tetapi, ada dua aspek khusus yang diperhatikan.
Pertama adalah aspek yang berkaitan dengan perubahan jasmani. Contohnya ketika rambut pria menjadi putih, timbul kerut-kerut dan keriput di wajah, dan terjadi beberapa bagian otot yang mengendur terutama otot di sekitar pinggang. Bernagai perubahan yang terjadi biasanya dikenal dengan nama “pembeda”. Perubahan fisik yang serupa pada wanita dipandang tidak menarik, dengan penekanan utama “pakaian usia madya”.
Bagian kedua dimana  standar ganda dapat terlihat nyata terdapat pada cara mereka (pria dan wanita) menyatakan sikap terhadap usia tua. Ada dua pandangan filosofis yang berbeda tentang bagaimana orang harus menyesuaikan diri dengan usia madya. Pertama, mereka harus tetap merasa muda serta aktif, kedua mereka harus menua dengan anggun semakin lambat dan semakin hati-hati, dan menjalani hidup dengan nyaman – inilah pandangan atau filsafat “rocking-chair.” Pada umumnya wanita, lebih mudah mengambil pandangan filsafat tersebut daripada pria, walaupun pada kenyataannya ditemui bahwa pandangan tersebut lebih banyak berlaku pada wanita dari kelas bawah daripada kelas menengah ke atas.
9.       Usia Madya Merupakan masa sepi
Ketika anak-anak sudah tidak lagi tinggal dirumah, banyak yang mengalami tekanan bathin karena dipensiunkan. Setelah bertahun-tahun hidup dalam sebuah rumah yang berpusat pada keluarga (family-centered home), umumnya orang dewasa menemui kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan rumah yang berpusat pada pasangan suami isteri. Keadaan ini terjadi selama masa-masa mengasuh anak, suami dan isteri selalu berkembang terpisah dan mengembangkan minat masing-masing. Akhirnya, mereka hanya memiliki sedikit persamaan setelah minat mereka terhadap anak-anak berkurang dan ketika mereka harus saling menyesuaikan diri dengan sebaik-baiknya.
Terbukti juga bahwa, periode masa sepi pada usia madya lebih bersifat traumatic bagi wanita daripada bagi pria. Hal ini benar khususnya pada wanita yang telah menghabiskan masa-masa dewasa mereka dengan pekerjaan rumah tangga dan bagi mereka yang kurang memiliki minat atau sumber daya untuk mengisi waktu senggang mereka pada waktu pekerjaan rumah tangga berkurang atau selesai. Banyak yang mengalami tekanan batin karena dipensiunkan. Kondisi yang serupa juga dialami pria ketika mereka mengundurkan diri dari pekerjaan.
10.   Usia Madya merupakan Masa jenuh
Merupakan masa yang penuh dengan kejenuhan. Para pria dan wanita menjadi jenuh dengan kegiatan sehari-hari dan dalam kehidupan keluarga yang hanya memberikan sedikit hiburan. 
Banyak atau hampir seluruh pria dan wanita mengalami kejenuhan pada akhir usia tiga puluhan dan empat puluhan. Para pria menjadi jenuh dengan kegiatan rutin sehari-hari dan kehidupan bersama keluarga yang hanya sedikit memberikan hiburan. Wanita, yang menghabiskan waktunya untuk memelihara rumah dan membesarkan anak-anaknya, bertanya-tanya apa yang akan mereka lakukan pada usia dua puluh atau tiga puluh tahun kemudian. Wanita yang tidak menikah yang mengabdikan hidupnya untuk bekerja atau karier, menjadi bosan dengan alasan yang sama dengan pria.
Archer menerangkan tentang kejenuhan yang dialami pria sebagai berikut : Kejenuhan tidak mendatangkan kebahagian ataupun kepuasan pada usia manapun. Akibatnya, usia madya seringkali merupakan periode yang tidak menyenangkan dalam hidup. Dalam studi mengenai kenangan yang menyenangkan dan tidak menyenangkan sepanjang tahun, pada usia madya khususnya pada umur 40-49 tahun terbukti sebagai masa yang paling sedikit terdapat kebahagian. Hanya pada tahun-tahun setelah usia 60 tahun, mereka menemukan masa tersebut sebagai masa yang hamper tidak menyenangkan.

C.      Tugas Perkembangan pada Masa Usia Madya
Adapun tugas-tugas perkembangan pada fase setengah tua tersebut adalah sebagai berikut.
1)      Mencapai tanggung jawab social dan dewasa sebagai warga Negara.
2)      Membantu anak-anak remaja belajar untuk menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab dan bahagia.
3)      Mengembangkan kegiatan-kegiatan pengisi waktu senggangang untuk orang dewasa. Aktivitas dan memanfaatkan waktu luang sebaik-baiknya bersama orang-orang dewasa lainnya.
4)      Menghubungkan diri sedemikian rupa dengan pasangannya (dengan suami atau istri) sebagai seorang pribadi yang utuh.
5)      Menerima dan menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan psikologis yang lazim terjadi pada masa setengah baya.
6)      Mencapai dan mempertahankan prestasi yang memuaskan dalam karir pekerjaan.
7)      Menyesuaikan diri dengan  orang tua yang semakin tua.
TUGAS-TUGAS PERKEMBANGAN PADA USIA MADYA
Tugas-tugas yang Berkaitan dengan perubahan fisik
Tugas ini meliputi untuk mau melakukan penerimaan akan dan penyesuaian dengan berbagai perubahan fisik yang normal terjadi pada usia madya.
Tugas-tugas yang Berkaitan dengan Minat
Orang yang berusia madya sering kali mengasumsikan tanggungjawab warga Negara dan social, serta mengembangkan minat pada waktu luang yang berorientasi pada kedewasaan pada tempat kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada keluarga yang biasa dilakukan pada masa dewasa dini
Tugas-tugas yang Berkaitan dengan penyesuaian keruan
Tugas ini berkisar pada pemantapan dan pemeliharaan standar hidup yang relative mapan
Tugas-tugas yang berkaitan dengan dengan Kehidupan Keluarga
Tugas yang penting dalam kategori ini meliputi hal-hal yang berkaitan dengan seseorang sebagai pasangan, menyesuaikan diri dengan orang tua yang lanjut usia, dan membantu anak remaja untuk menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab dan bahagia.

D.     Bahaya-bahaya selama perkembangan masa Usia Madya.
a.       Personal dan Sosial bagi Orang Usia Madya
Bahaya social dan pribadi yang paling besar pada usia madya timbul karena kecenderungan untuk menerima pendapat umum klise tentang kehidupan bahwa orang usia madya biasanya gemuk dan mulai botak. Beberapa bahaya social dan pribadi dianggap penting sehingga orang kesulitan dalam menyesuaikan diri.

1.      Bahaya Personal
Ada beberapa bahaya personal bagi orang berusia madya dalam menyesuaikan diri dengan peran dan gaya hidup baru. Dari semua itu, ada enam macam yang dianggap umum dan serius.
1)      Diterimanya Kepercayaan Tradisional
Diterimanya kepercayaan traditional tentang ciri-ciri usia madya mempunyai pengaruh yang sangat mendalam terhadap perubahan perilaku fisik yang terjadi seiring dengan bertambahnya usia. Seseorang yang mengalami masa menopause misalnya, sering disebut sebagai “masa kritis” (critical period). Kepercayaan seperti ini dapat menambah rasa takut yang tidak menentu.
Seperti dikatakan Parker : “Masa tersebut membawa implikasi yang berbahaya, karena menjadikan wanita merasa bahwa kesehatannya, kebahagiannya, dan hidupnya merasa hancur dan paling berbahaya. Secara tidak langsung hal itu mengatakan bahwa situasi menopause bukan saja masa kritis yang dapat dengan tiba-tiba menghilang, tetapi merupakan periode yang terasa amat panjang dengan jaminan keselamatan yang sangat minim, dimana setiap saat dapat jatuh ke jurang kehancuran mental atau penyakit jiwa yang serius”.
2)      Idealisasi Anak Muda
Banyak orang usia madya khususnya kaum pria secara konstan menentang pengelompokkan usia dalam pola perilaku umum. Mereka tidak mau dibatasi perilaku dan kegiatannya. Sikap memberontak seperti itu berasal dari pengenalan terhadap nilai bahwa masyarakat mengikat anak muda dan karena itu mereka menentang terhadap setiap bentuk pembatasan, ini berarti mereka sedang tumbuh menjadi lebih tua. Kondisi semacam ini menyebabkan mereka yang berusia madya menderita biasa atau lebih serius.
Sepeti yang dijelaskan  oleh Streincrohn : “Apabila Anda lebih sering rileks, apabila Anda dengan pelan-pelan meningkat, jangan percaya bahwa Anda tumbuh menjadi tua secara premature. Malaikat maut tidak ingin membisikkan derita besar pada Anda dan hindarkan itu jauh-jauh sebelum Anda mencapai usia tujuhpuluhan dan delapanpuluhan, karena dengan demikian malaikat maut akan bersabar terhadap orang yang suka rileks dan tidak sabar pada mereka yang berlebih-lebihan”.
Wanita yang mempunyai kemampuan penyesuaian diri paling buruk adalah mereka yang sangat terikat dengan pentingnya factor penampilan yang keremaja-remajaan dan yang mengagumi keperkasaan. Apabila mereka dipaksa untuk mengaca diri bahwa mereka tidak menarik seperti dulu lagi, sehingga mereka tidak lagi dapat menarik perhatian pria, mungkin mereka akan berontak terhadap statusnya sebagai orang berusia madya.
Ryan menyarankan bahwa perubahan dalam penampilan itu perlu agar menarik : Beberapa perubahan ini mungkin menjadikan individu lebih menarik, daripada tidak menarik. Sering bahwa pada perubahan pertama adalah terhadap warna rambut berubah menjadi abu-abu kemudian memutih. Jelas hal ini merupakan factor yang positif karena banyak orang yang lebih menarik dengan rambut putih. Begitu juga individu yang semakin tua, wajahnya menjadi semakin keriput dan kendor. Sekali lagi ini bukan tanda-tanda kerusakan. Wajah yang bergaris-garis memberikan ciri wajah yang menyenangkan, lemah lembut dan yang tidak tertarik kepada kelembutan anak muda.
3)      Perubahan Peran
Untuk dapat menyesuaikan dengan baik dengan peran yang baru, seseorang harus dapat berbuat seperti yang dikatakan oleh Havighurst : “menghilangkan emosi yang selama ini diterapkan dalam peran tertentu dan memanfaatkannya pada kesempatan yang lain”.
4)      Perubahan Keinginan dan Minat
Bahaya  besar dalam penyesuaian diri seseorang pada usia madya timbul karena ia mau tidak mau harus mengubah keinginan dan minatnya sesuai dengan tingkat ketahanan tubuh dan kemampuan fisik serta memburuknya tingkat kesehatan fisik. Merka mau tidak mau harus mencoba untuk mencari dan mengembangkan keinginan baru sebagai pengangganti keinginan lama yang biasa dilakukan, atau jauh hari sebelum masa madya tiba mereka telah mengembangkan keinginan baru tersebut yang cukup menarik sehingga dapat membebaskannya dari perasaan  tertekan dan tidak enak karena kehilangan keinginan yang biasanya dilakukan. Apabila hal ini tidak dilakukan mereka akan merasa bosan dan bingung karena mereka tidak tahu bagaimana cara memanfaatkan waktu yang begitu banyak. Seperti seorang dewasa yang menjadi bosan pada waktu mereka harus mencari berbagai kegiatan dan keinginan untuk mengisi waktu yang begitu banyak.
5)      Simbol status
Pada umumnya wanita semakin tua semakin tertarik pada symbol status, Ada tiga reaksi umum sebagai bagian dari wanita yang sangat menentukan symbol tersebut.
Pertama, dia akan mengeluh dan mengomeli suaminya yang tidak adapt menyediakan cukup uang untuk memperoleh status tersebut.
Kedua, dia akan bersikap boros dan menjerumuskan keluarganya dengan melakukan utang.
Ketiga, dia bias juga berbuat sesuatu dengan bekerja misalnya agar mempunyai cukup uang demi mencukupi kebutuhannya.
Semua pola respon tersebut merupakan tanda betapa besar keinginan seorang untuk memperoleh symbol status. Sikap seperti ini dapat menimbulkan percekcokan dengan keluarga, terutama perilaku yang ketiga tadi yang menjadikan banyak pria menjawab dan bersikap tidak menyenangkan. Karena ia sadar hal itu tidak mungkin ia peroleh
6)      Aspirasi yang tidak Realistis
Orang berusia madya yang mempunyai keinginan yang tidak realistis tentang apa yang ingin dicapai, akan menghadapi masalah yang serius dalam proses penyesuaian diri dan social, apabila ia kelak menyadari bahwa ia tidak bias mencapai tujuan tersebut
2.      Bahaya Sosial
Penyesuaian social dalam usia ini kurang begitu dipengaruhi oleh kepercayaan tradisional dan stereotype dibadningkan dengan penyesuaian social. Namun bagaimanapun juga penyesuaian social sedikit banyak dapat dipengaruhi oleh kepercayaan tradisional, seperti pepatah yang berkata : “Kamu tidak dapat mengajarkan pelajaran baru pada anjing tua,“ Atau “Sekali pemimpin tetap pemimpin” jadi bila seseorang yang pada masa mudanya bukan seorang pemimpin, maka dimasa tuanya merasa bahwa ia tidak ada harapan untuk berperan sebagai pemimpin baik dalam lingkungan pekerjaan ataupun lingkungan social.
Ada beberapa kondisi yang dapat mempengaruhi penyesuaian social pada masa usia madya. Kondisi ini umumnya dibawa  secara bertahap sejak seseorang masih muda, terutama pada waktu seseorang berusia remaja dan dewasa muda. Itulah sebabnya menyapa orang pada masa mudanya tidak memiliki kemampuan penyesuaian social dengan cara yang baik sehingga pada waktu ia berusia madya hasilnya akan sama saja.
Penyesuaian sosial yang buruk pada masa tersebut, merupakan bahaya, karena semakin bertambah usia seseorang maka ia akan semakin bergantug pada orang lain, terutama orang yang suami atau isterinya telah meninggal, sedang anak-anaknya sibuk dengan keluarga masing-masing. Orang usia madya yang tidak dapat mengikuti perkembangan penting untuk memegang tanggung jawab sosial dan tanggung jawab sebagai warga Negara di masa tuanya hidupnya akan terasa kesepian dan tidak bahagia sehingga mengakibatkan ia terlambat dalam proses penyesuian socialnya.
b.      Bahaya Pekerjaan dan Perkawinan pada Usia Madya
1.       Bahaya Pekerjaan
Jenis dan macam bahaya yang timbul dalam proses penyesuaian terhadap pekerjaan pada usia madya, dimana beberapa dari bahaya tersebut merupakan cirri dari periode tersebut dan ada delapan bahaya yang dianggap umum dan serius.
a)      Pertama Kegagalan dalam Mencapai Cita-cita Awal
Kegagalan dalam mencapai cita-cita hidup yang sejak awal telah diimpikan oleh orang berusia madya mengakibatkan menurunnya sikap egonya karena ia tahu bahwa usia madya merupakan saat pencapaian puncak prestasi dan oleh sebab itu, ia tampaknya tidak berminat lagi untuk meraih cita-citanya di saat usia sudah cukup lanjut. Reaksinya terhadap kegagalan dalam mencapai cita-citanya mempengaruhi sikap mereka terhadap dirinya sendiri, terhadap penyesuaian social, dan terhadap pribadinya pada saat kegagalan tersebut terjadi dan pada waktu ia mencapai usia lanjut. Bishop menyimpulkan bahwa :
Usia madya adalah “Periode usia kebenaran.” Impian dan keinginan dapat membawa pria berhasil berprestasi pada usia duapuluhan, tigapuluhan, dan usia empatpuluhan. Pada waktu seorang pria mencapai usia limapuluhan, maka daya pikirnya telah mantap, apabila ia seseorang yang bijaksana dalam memandang kenyataan hidup. Ia harus belajar bekerjasama dengan berbagai masalah, kejadian dan kenyataan yang tidak dapat dihindarkan an harus diatasi. Apa pun bentuk kenyataan itu, ia ada dalam usia yang relative muda yang memungkinkan untuk memperoleh kepercayaan, untuk merencanakan, atau berkhayal tentang sesuatu yang tidak realistis dengan kemajuan yang sedang dituntut oleh jabatannya. Banyak pria yang pada waktu menghadapi saat-saat kebenaran seperti ini kemudian mencari obat sebagai pelipur lara dengan melakukan kegiatan kompensasi atau kegiatan yang rasional atau keduanya.
b)      Mandirinya Kreativitas
Kebanyakan para pekerja pada usia madya menampilkan gejala kreativitas kerjanya mundur. Hal ini mengakibatkan orang merasa kkurang dengan prestasi yang diperolehnya dan menyatakan bahwa kreativitasnya sudah tidak sehebat yang pernah dicapai dulu
c)       Kebosanan
Perasaan bosan selama masa dewasa dini juga merupakan bahaya dalam bekerja, karena hal itu akan mempengaruhi pekerja usia madya melebihi kebosanan pekerja yang lebih muda, karena kesempatan mereka untuk mencari pekerjaan yang lebih menarik semakin lama semakin kecil kemungkinan. Perasaan bosan umumnya menjangkiti pekerja industry yang menghadapi kenyataan bahwa otomatisasi peralatan pabrik secara meningkat, menggantikan pekerjaan setiap individu pekerja.
Packard mengungkapkan : Gerakan tangan yang diulang-ulang yang dilakukan selama berjam-jam, dirasakan sangat membosankan. Bapaknya menyebutnya miskin, tetapi tukang kayu sangat bangga dengan tong yang dibuatnya. Di sini ada mesin yang tahu segalanya, yang dapat dipakai untuk alasan untuk berbangga. Mungkin aturan yang berlaku bagi pekerja yang menggunakan mesin juga melarang mereka untuk  berbicara dengan sesame pekerja dalam tugas, atau melarang pekerja untuk mencari minum, kecuali pada jam istirahat.


d)      Keagungan
Kecenderungan menjadi agung (“bigness”) dalam bidang usaha, industry dan pekerjaan professional lainnya juga merupakan bahaya pekerjaan bagi para pekerja yang berusia madya dewasa ini, karena kebiasaan bekerja dalam situasi yang ramah, situasi kerjanya tidak formal, di mana ia tahu setiap teman sejawatnya, kapan waktu untuk istirahat dan kesempatan santai lainnya, kapan waktu untuk mengobrol dengan kawan, bekerja dalam kelompok besar, merupakan ciri-ciri suasana bebas dari lingkungan kerja.
Para pekerja yang professional juga merasa bahwa dalam satuan organisasi yang sangat besar dan rumit, sehingga interaksi yang penuh persahabatan dan ramah yang dulu bisa mereka nikmati, sekarang merupakan kenangan belaka.
e)      Perasaan Terperangkap
Banyak pekerja usia madya yang merasa “terperangka” dalam pekerjaan sebagai sisa hidupnya, dan merasa tidak akan dapat untuk membebaskan diri sendiri sampai ia mencapai usia pension.
Sebagian besar pekerja usia madya bagaimanapun juga merasa bahwa mereka harus tetap bekerja pada pekerjaan yang itu saja bahkan pada pekerjaan yang tidak disukainya karena mereka merasa terlambat untuk bebuat seperti pekerja yang lebih muda, karena mereka sekarang sudah terikat oleh tanggung jawab terhadap keluarga, yang secara tersamar membatasi mereka untuk mencari pengetahuan baru yang dapat dimanfaatkan untuk menunjang tugas. Seorang pria usia madya yang terperangkap dengan cara ini kemudian diwawancarai tentang sikapnya terhadap tugas mengatakan :
Betul saya terperangkap. Mengapa saya harus demikian? Dua puluh lima tahun yang lalu anak usia 18 tahun yang tolol dari suatu perguruan tinggi mengubah pikirannya, yaitu bercita-cita ingin jadi dokter gigi. Karena sikap itu, saya menjadi dokter gigi. Tetapi saya sekarang merasa  tertahan, yang saya ingin ketahui adalah; siapa yang mengatakan bahwa anak dapat memutuskan tentang apa yang dapat saya kerjakan dari sisa hidup saya?
f)       Pengangguran
Masalah pengangguran selalu menjadi masalah yang sangat serius terlebih lagi dalam situasi resesi ekonomi daripada pada masa tidak resesi. Orang dewasa muda yang dipecat, atau yang berhenti dari pekerjaannya biasanya dapat memperoleh pekerjaan baru dalam tempo yang relative singkat. Tetapi bagaimanapun juga memperoleh pekerjaan menjadi makin sulit karena makin bertambahnya tahun yang dilewatinya, sehingga periode menganggur dialami dalam waktu yang relative bertambah lama.
Empat kelompok pekerja usia madya yang sulit mencari pekerjaan adalah mereka  yang IQ-nya rendah, wanita, pria dari kelompok minoritas dan pekerja pelaksana atau mereka yang bekerja paad tingkat kelompok manajemen menengah.
Menganggur merupakan bahaya mental yang paling serius bagi setiap pekerja, tanpa pandang usia, jenis kelamin, suku dan status serta golongan. Orang yang sudah menganggur dalam waktu yang lama perasaannya sering berkembang kea rah yang tidak menentu dan merasa tidak diperlukan, yang mengakibatkan sikapnya sangat pasif (extreme passivity) atau sangat agresif (overaggresiveness). Kedua sikap ini sangat tidak menguntungkan dalam mencari pekerjaan di masa yang akan datang.
g)      Sikap Tidak Menyenangkan Terhadap Pekerjaan
Sikap tidak menyenangkan  terhadap pekerjaan dapat menimbulkan efek yang merusak pada prestasi kerja dan penyesuaian pribadi para pekerja berusia madya.
h)      Mobilitas Geogfrafis
Beberapa pekerja dihadapkan dengan kaharusan untuk pindah ke masyarakat lain yang jaraknya sering puluhan kilometer, jauh dari rumah dimana ia sekarang tinggal, untuk bekerja pada pekerjaan yang sama atau mencari pekerjaan baru agar ia tidak menganggur.
Kebanyakan orang yang berusia madya tidak senang untuk dipindahkan, khususnya apabila orang masih mempunyai anak usia belasan yang masih sekolah, atau karena isterinya juga bekerja atau aktif dalam organisasi atau kegiatan masyarakat.
2.      Bahaya Perkawinan
Bahaya perkawinan sering lebih serius dibandingkan dengan pada masa dewasa dini, karena kesempatan untuk membangun penyesuaian yang baik berjalan lambat daripada berjalannya waktu dan pada waktu anak-anak meninggalkan rumah, motivasi orang dewasa untuk menjaga situasi keluarga yang bahagia menurun.
a)      Kebosanan
Wanita yang membaktikan seluruh masa hidup dewasanya untuk mengurusi rumah tangga menjadi bosan pada usia madya, pada ibu yang berperan sebagai ibu rumah tangga. Banyak wanita usia madya dewasa ini melihat bahwa ada kesempatan untuk maju dalam dunia kerja, kemudian memutuskan untuk belajar ketrampilan baru, atau berusaha memperbaiki ketrampilannya yang mulai memudar dengan cara masuk kursus atau kuliah lagi. Bagi kelompok wanita lain yang tidak mempunyai cukup uang untuk itu, atau yang kurang memperoleh dukungan dan dorongan dari suaminya, hanya bias bertahan dalam kebosanannya, sehingga proses penyesuaian diri, pernikahan dan social yang dilakukan sangat jelek.
b)      Oposisi terhadap Perkawinan Anak.
Masalah yang serius kadang-kadang atau timbul pada waktu seorang anak usia remaja atau anak yang sudah dewasa menikah dengan seseorang, sedang orang tuanya tidak setuju. Apabila mereka menantang perkawinannya, hal ini akan menjadi penghalang dalam menyesuaikan diri dengan cara yang memuaskan, pada saat berangkat meninggalkan rumah. Tantangan semacam ini biasanya menjadi penghalang antara pihak orang tua dengan pihak anak, yang mengakibatkan hubungan dan pertemuan antara anak dengan orang tua menjadi jarang. Begitu juga hubungan dengan cucu dan anak besan menjadi  tegang dan tidak menyenangkan.
c)       Ketidakmampuan Membangun Hubungan Yang Memuaskan dengan Pasangan Sebagai Pribadi.
Salah satu tugas penting yang perlu dikembangkan pada usia madya adalah usaha untuk menciptakan hubungan yang memuaskan dengan pasangan. Hal ini khususnya sulit bagi wanita karena masalah yang dihadapinya dalam melakukan penyesuaian yang memuaskan terhadap peran baru yang harus ia mainkan sekarang yakni bahwa anak-anak telah meninggalkan rumah. Bahaya penyesuaian ini juga dialami oleh pria.
Banyak pria dan wanita dapat melakukan penyesuaian perkawinan ini dengan berhasil dan bahkan lebih bahagia dalam perkawinannya daripada yang dialaminya selama masih merawat anak-anak, tetapi bagi orang lain hal ini merupakan transisi yang membahayakan. Sikap yang paling penting bagi suami dan isteri yang menentang penciptaan hubungan baik. Sebagian besar sikap yang tidak menyenangkan ini sudah berkembang selama bertahun-tahun, sehingga pada usia madya sikap tersebut sudah berakar begitu kuat sehingga sangat sulit dihilangkan.
d)      Penyesuian Seksual
Kegagalan untuk mencapai hubungan yang baik dengan pasangan mempunyai efek balik dalam penyesuaian seksual selama masa usia madya. Faktor tersebut membahayakan penyesuaian perkawinan dan sangat menambah kekecewaan terhadap perkawinan selama periode tersebut.
Wanita yang kecewa dengan perkawinannya, mungkin mencoba mencari kompensasi dengan melakukan pemusatan segala daya upaya dan waktu untuk membantu anak-anaknya yang sudah dewasa, aktif dalam kegiatan masyarakat atau dengan melakukan hubungan seksual di uar nikah dengan seseorang yang dirasa lebih menghargainya daripada suaminya.
Pria usia madya yang kehidupan seksualnya tidak memuaskan akan melakukan hubungan seksual di luar nikah atau ia merasa bersalah karena ia telah gagal memberikan kepuasan seksual kepada isterinya.
SIKAP YANG MENENTANG PEMANTAPAN HUBUNGAN YANG BAIK DENGAN PASANGAN
No
Sikap suami
Sikap isteri
1.

2.


3.




4.





5.





6.
7.


8.
Tidak puas dengan penyesuaian dalam hubungan seksual
Jikalau suami berhasil dalam karier. Ia merasa bahwa isterinya tidak mendukung keberhasilannya
Apabila ia tidak berhasil dalam karier. Ia merasa bahwa isterinya tidak membantu dalam mengembangkan karier suaminya, bahkan dianggap menghalanginya.
Perasaan bahwa ia dan isterinya mempunyai perbedaan sikap dan kesenangan yang besar, karena isterinya sering menolak untuk tertarik pada sesuatu yang dianggap penting baginya
Sikap mengkritik terhadap cara pengelolaan rumah dan keuangan oleh isterinya dan suatu kepercayaan bahwa metode latihan bagi anaknya telah dilakukan dengan cara yang serba membolehkan atau sangat longgar.
Tidak puas terhadap penampilan isteri
Perasaannya bahwa isterinya mendominasi dirinya dan memperlakukannya seperti anak kecil
Tidak puas dengan penyesuaian seksual

Kehilangan ilusinasi dengan suaminya karena ia tidak berhasil dalam karier

Merasa dijadikan budak dirumah atau oleh saudaranya yang lebih tua.



Dugaan bahwa suami kikir dalam membelanjakan uang untuk pakaian dan rekreasi

Keyakinan bahwa suaminya tidak menghargai waktu dan usaha yang telah dilakukannya untuk tugas-tugas rumah tangga.


Perasaan bahwa suaminya lebih tertarik pada karier daripada dirinya
Perasaan bahwa suaminya menggunakan terlalu banyak waktu dan uang untuk saudara-saudaranya
Perasaan curiga bahwa suaminya terlibat dengan perempuan lain dalam hubungan cinta.

e)      Merawat Orang Tua Usia Lanjut
Merawat orang tua usia lanjut dirumah sendiri merupakan bahaya yang serius bagi kebanyakan pasangan usia madya, karena tugas tersebut menganggu penyesuaian mereka satu sama lain setelah anak-anak mulai meninggalkan rumah. Akibatnya penyesuaian seksual akan terpengaruh.
Untuk mempersulit situasi tersebut adalah bahwa relasi orang tua tersebut biasanya adalah ibu, dari salah satu pasangan. Apabila dia tidak mau mengubah perannya dari kepala rumah tangga dan sekarang menjadi seseorang yang bergantung, mungkin dia akan mencoba untuk mendominasi situasi sebagaimana biasa dilakukannya di rumahnya sendiri. Sikap seperti ini menimbulkan ketegangan dengan seluruh anggota keluarga dan situasi rumah biasanya diwarnai oleh ketegangan yang berlanjut.
f)       Hilangnya Pasangan
Hilangnya pasangan karena kematian atau perceraian selama usia madya merupakan bahaya terhadap penyesuaian social dari pribadi yang baik, karena banyaknya masalah. Karena itu, perceraian atau ancaman perceraian adalah salah satu dari seluruh bahaya perkawinan yang paling serius pada usia madya. Karena perceraian pada usia madya merupakan oprasi besar, bagi suami maupun isteri, maka mereka tidak buru-buru menerobos untuk mengatakan dan meminta cerai tanpa pikir panjang lebar, seperti yang banyak dilakukan pasangan muda. Bagaimanapun juga, ada bukti bahwa perceraian pada usia madya berasal dari kondisi keluarga yang semakin memburuk yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun yang akhirnya tidak dapat dipertahankan lagi.
Dame dan kawan-kawan, menjelaskan : “Salah satu factor yang menyebabkan runtuhnya hidup keluarga adalah “rasa dendam” yang sudah membara dalam diri kedua belah pihak selama bertahun-tahun. Suami sering dilontari dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab tentang aktivitas seksual  yang dilakukannya baik sebelum maupun sesudah perkawinan. Wanita menyimpan dendam karena dia disakiti selama mengandung dan karena sikap suaminya terhadapnya pada waktu itu. Titik balik yang sesungguhnya bagi wanita bergantung pada banyak factor. Misalnya, dia ingin bebas dari merawat anak-anak hanya pada batas-batas tertentu saja, diakhirinya pembagian pekerjaan (seperti membangun dan mengisi rumah dengan perabotan) dan perasaan bahwa hidup itu perpapasan oleh atau dorongan dari wanita lain.
g)      Kawin-lagi
Kawin lagi pada usia madya nampaknya menjadi berbahaya, khususnya apabila karena perceraian. Selama masalah keuangan merupakan penyakit bagi orang dewasa yang lebih muda, yang kawin lagi setelah cerai, masalah penyesuaian terhadap masing-masing dan terhadap pola hidup baru merupakan gangguan yang lebih menonjol bagi keberhasilan pernikahan pada usia madya. Hal ini selalu sulit bagi usia madya untuk mengubah peran dan mengikuti pola hidup yang baru.